Rabu, 31 Oktober 2012

Perbedaan Notaris Dengan PPAT


Masih adanya persepsi yang belum tepat di masyarakat kita tentang Notaris dan PPAT ( Pejabat Pembuat Akta Tanah ), yang menurut mereka bahwa Notaris dan PPAT adalah dua jabatan yang sama. Pada dasarnya Notaris dan PPAT adalah jabatan yang berbeda. Seorang yang menjadi Notaris belum tentu seorang PPAT, begitu pula sebaliknya.

1. Dasar Hukum 
  • Notaris : Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 : tentang Jabatan Notaris (UUJN)
  • PPAT   :  Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 : tentang Peraturan Jabatan PPAT (PJPPAT)
2. Pengangkatan 
  • Notaris : oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
  • PPAT   : oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional

3. Definisi 
  • Notaris : Pasal 1 UUJN : Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
  • PPAT  :  Pasal 1 PJPPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

4. Wewenang
  • Notaris : Pasal 15 UUJN : Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta.
  • Selain itu Notaris berwenang pula :
  1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
  2. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
  3. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
  4. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
  5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
  6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
  7. Membuat akta risalah lelang.

  • PPAT     :  Pasal 2 PJPPAT : PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat Akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu
  • Akta yang dapat dibuat PPAT adalah sebagai berikut :
  1. Jual beli;
  2. Tukar menukar;
  3. Hibah;
  4. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
  5. Pembagian hak bersama;
  6. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik;
  7. Pemberian Hak Tanggungan;
  8. Pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan.

  • Berdasarkan hal-hal tersebut di atas jelas terdapat perbedaan kewenangan antara Notaris dengan PPAT. Seorang Notaris memiliki kewenangan lebih luas dibanding seorang PPAT.
  • Jadi jika Anda ingin membuat sebuah dokumen, perhatikan dulu jenis dokumennya, dan akan lebih nyaman bagi Anda jika mendatangi seorang Notaris yang juga seorang PPAT.

Akta Tanah


Akta Tanah
Surat Tanda Bukti Peralihan Hak Atas Tanah


Surat (tulisan diatas kertas) ternyata menduduki posisi penting dimata hukum, sebab surat adalah salah satu alat bukti hukum, baik dalam ranah hukum perdata, pidana maupun tata usaha negara. Sebagai alat bukti, Surat terbagi dalam 2 bentuk, yaitu Akta dan Non Akta.

Suatu Surat dapat dikatakan Akta apabila dibuat untuk membuktikan sesuatu hal/peristiwa tertentu dan ditanda-tangani. Sedangkan Surat Non Akta adalah surat yang dibuat untuk maksud tertentu namun tidak ditanda-tangani, Contoh : Karcis, Tiket dll.  

Selanjutnya mengenai Akta, pada prinsipnya Akta bukanlah produk beschickkings (Keputusan/Kebijakan) Pejabat Umum (Pejabat TUN), melainkan lebih bersifat sebagai Partij Akte, sebab Akta hanya berisi/mengandung keterangan-keterangan tentang adanya suatu prestasi tertentu yang disepakati untuk dilaksanakan oleh beberapa Pihak yang menghadap Pejabat Umum, sehingga Pejabat Umum hanya mencatatkan keterangan dari para Pihak Penghadap.
 
Jika akta dilihat dari bentuknya, Akta terbagi atas : Akta Otentik (Authentiek) dan Akta Bawah Tangan  (Onderhans), yang perbedaan pokok keduanya terletak pada : Pembuatan dan Sifat Pembuktiannya, sebagaimana berikut ini

1. Pembuatan.
Akta Otentik adalah Surat yang dibuat oleh/dihadapan Pejabat Umum (Openbaar Ambtenaar) yang berwenang untuk itu (seperti : Notaris, PPAT, PPAIW, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pejabat Lelang, Pejabat Catatan Sipil), di tempat akta itu dibuat dan bentuknya sebagaimana yang telah diatur oleh peraturan perundangan (Pasal 1868 KUHPerdata).

Sedangkan Akta Bawah Tangan adalah Surat yang dibuat sendiri oleh para Pihak yang bersangkutan tanpa bantuan Pejabat Umum dan bentuknyapun bebas menurut selera si Pembuat, misalnya Perjanjian Sewa–Menyewa rumah yang dibuat sendiri oleh para pihak (Pasal 1874 KUHPerdata).

2. Sifat Pembuktian.
Akta Otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut (Pasal 165 HIR, Pasal 285 RBg, dan Pasal 1870 KUHPerdata). Artinya apabila suatu Pihak mengajukan Akta Otentik, Hakim harus menerima dan mengganggap benar adanya segala apa yang ditulis dalam akta itu benar-benar terjadi, sehingga Hakim tidak boleh lagi memerintahkan penambahan pembuktian lagi.

Sedangkan Akta Bawah Tangan dapat menjadi alat pembuktian yang sempurna apabila pihak–pihak yang bertanda-tangan dalam akta mengakui kebenaran isi Akta itu. Akan tetapi jika ada pihak yang meyangkal kebenaran isi akta dimaksud, maka  Pihak yang mengajukan Akta Bawah Tangan harus membuktikan kebenaran tanda-tangan atau isi akta itu.

Akta Tanah.
Dalam artikel ini yang dimaksud dengan Akta Tanah adalah semua Surat yang dibuat oleh Pejabat yang berwenang ( Pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh peraturan perundangan ) dalam rangka pencatatan suatu perbuatan hukum atas tanah, sebagaimana dimaksud oleh Pasal  37 : 1 PP No 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang menegaskan bahwa :
Peralihan hak atas tanah dan hak atas satuan rumah susun melalui jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundangan yang berlaku ”.
Jadi untuk melakukan suatu perbuatan hukum atas tanah seperti : Jual–Beli, Tukar–Menukar, Hibah, Imbreng, Gadai dan Pembagian Hak Bersama harus menggunakan Akta PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah).

Perbuatan peralihan hak tanpa menggunakan Akta PPAT bukan berarti perbuatanya tidak sah atau batal, melainkan untuk proses administrasi pendaftaran peralihan haknya tidak dapat dilayani oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat, karena tidak sesuai Pasal 37 ayat 1 PP No. 24/1997.

Jenis Akta PPAT.
Selanjutnya atas dasar ketentuan seperti tersebut diatas, maka jenis – jenis Akta PPAT, terdiri dari beberapa jenis, seperti beikut ini (Pasal 95 PMNA/KBPN No. 3/1997) :

  1. Akta Hibah.
  2. Akta Jual–Beli.
  3. Akta Tukar-Menukar.
  4. Akta Pembagian Hak bersama.
  5. Akta Pemberian Hak Tanggungan.
  6. Akta Pemberian Hak Pakai atas Tanah Hak Milik.
  7. Akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan (Imbreng).
  8. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik.

Akan tetapi tidak semua perbuatan peralihan tanah harus dibuatkan Akta PPAT, terdapat juga peralihan tanah, yang Surat/Aktanya dibuat oleh Pejabat lain yang dapat dipergunakan sebagai alas hak untuk mencatatkan peralihan hak atas tanah, seperti  :
  1. Akta Ikrar Wakaf–dibuat oleh PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf – Pasal 76 Ayat 1 i PMNA/KBPN no. 3/1997). 
  2. Risalah Lelang – dibuat oleh Pejabat Lelang (Pasal 108 PMNA/KBPN No. 3/1997 ). 
  3. Surat Penetapan Waris – dibuat oleh Pejabat yang berwenang, antara lain seperti : Hakim Lembaga Peradilan, Pejabat Catatan Sipil, Notaris, Camat, Lurah dll ( Pasal 111 PMNA/KBPN No. 3/1997)
Pembuatan Akta PPAT/PPAIW oleh Pejabat Umum yang bersangkutan harus dihadiri oleh Para Pihak (atau Kuasanya) dan disaksikan oleh minimal 2 Orang Saksi yang layak guna menyaksikan adanya perbuatan hukum atas tanah yang dimaksud (Pasal 101 PMNA/KBPN No. 3/1997).

Akta PPAT/PPAIW dibuat dalam 2 rangkap Asli, 1 Rangkap disimpan dalam Kantor PPAT/ PPAIW yang bersangkutan, 1 Rangkap disampaikan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/kota setempat untuk keperluan pendaftaran dan kepada Pihak yang bersangkutan diberikan Salinannya (Pasal 102 PMNA/KBPN No. 3/1997 ).  

Fungsi Akta Tanah.
Akta Tanah berfungsi sebagai alas hak dalam rangka : 
  1. Terhadap Tanah yang sudah bersertifikat, untuk mendaftarkan peralihan hak atas tanah. Dengan kata lain bahwa Akta Tanah berfungsi sebagai alas hak guna proses balik nama Sertifikat Hak Atas Tanah.
  2. Sedangkan terhadap Tanah yang belum bersertifikat Akta berfungsi sebagai alas hak dalam rangka permohonan penerbitan hak baru (penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah-Pasal 106 PMNA/KBPN No. 3/1997).
Kesimpulan.
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa : 
  1. Pada prinsipnya Akta Tanah merupakan Akta Otentik , yaitu Akta yang dibuat oleh Pejabat yang berwenang untuk itu (ditunjuk oleh peraturan perundangan) dalam rangka suatu perbuatan hukum atas tanah yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dihadapan hukum bagi Pihak yang bersangkutan. Kecuali ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya atau Akta itu palsu atau cacad hukum. 
  2. Akta PPAT/PPAIW tidak dapat digugat melalui Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN), melainkan hanya melalui Lembaga Peradilan Umum saja, karena Akta bersifat Partij Akte, bukan beschikkings (Keputusan/Kebijakan) Pejabat Tata Usaha Negara. 

Selasa, 23 Oktober 2012

Sistim Kepemilikan Tanah Di Berbagai Negara

Azas kepemilikan tanah diberbagai Negara tidak selalu sama, masing - masing Negara memiliki ciri khas tersendiri sesuai dengan hukum negara yang bersangkutan, sebagaimana berikut ini :
INDONESIA

Berdasarkan Undang-Undang No. 5/1960 (UUPA), kepemilikan tanah di Indonesia pada prinsipnya menganut Azas Pemisahan Horizontal. Artinya bahwa tanah yang dapat dikuasai dan dimiliki hanyalah sebatas pada permukaan bumi saja (kulit bumi) beserta ruang yang ada diatasnya setinggi sewajarnya dalam rangka penggunaan tanah tersebut.

Sedangkan benda-benda lain yang ada diatas tanah, dan segala kandungan mineral dan lain-lain yang ada dibawahnya, tunduk pada ketentuan hukum yang lain (tidak menyatu dengan tanah).
***
AMERIKA SERIKAT ( USA )

Sistim kepemilikan tanah di Amerika Serikat menganut Azas Perlekatan Mutlak. Sebagaimana diatur dalam hukum tanahnya, yang terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut :
" Barangsiapa yang memiliki tanah, Dia juga memiliki segala apa yang ada dibawahnya sampai ke pusat bumi, dan segala apa yang ada diatasnya sampai ke surga ".
***
BRITANIA RAYA
( UNITED KINGDOM ) 
Sistim kepemilikan tanah di Kerajaan United Kingdom (Inggris Raya + Irlandia Utara) pada prinsipnya menganut Azas Perlekatan (accsesie). Artinya bahwa kepemilikan tanah tidak hanya meliputi permukaan bumi saja, melainkan termasuk apa yang ada dipermukaan dan dibawah tanah, sebagaimana dalam The Law of The Property Right 1925 dan Trust of Land and Appoinment of Trustees Act 1996, yaitu :

  1. Kepemilikan atas permukaan bumi beserta unsur-unsur yang terdapat dipermukaan.
  2. Bagian bawah bumi beserta unsur - unsur yang terdapat didalamnya.
  3. Semua produk alam, dan
  4. Air.
***

AUSTRALIA 
Sistim kepemilikan tanah di Australia, hampir mirip dengan Indonesia. Artinya tanah yang dapat dimiliki anyalah permukaan bumi saja, sedangkan bahan mineral yang ada dibawahnya dalam bumi adalah milik Crown (Negara), selanjutnya Negaralah yang akan memberikan bahan mineral tersebut kepada Sang Pemilik tanah.
***
TAIWAN
( Republic of China )
Sistim kepemilikan tanah di Republik Of China (Taiwan) berdasarkan The Land Act 1930, hampir mirip dengan Indonesia, kepemilikan tanah tidak meliputi kepemilikan benda-benda mineral yang ada didalam tanah. Bahan mineral akan diberikan kepada pihak yang ditetapkan berdasarkan Undang - Undang lain (The Minning Industry Act).
***
MALAYSIA 
Sistim kepemilikan tanah di Kesultanan Malaysia sebagaimana diatur dalam Federal Malay States Code 1965, persis dengan Inggris, pada prinsipnya menganut Azas Perlekatan. Artinya bahwa kepemilikan tanah meliputi pula :
  1. Kepemilikan atas permukaan bumi beserta unsur - unsur yang terdapat dipermukaan.
  2. Bagian bawah bumi beserta unsur - unsur yang terdapat didalamnya.
  3. Semua produk alam, dan
  4. Air.
***
SINGAPURA

Berdasarkan Land Title Act 1970, Singapura menerapkan azas perlekatan, persis negara induknya ; Inggris dan Malaysia (dahulu Singapura adalah koloni Inggris dan pernah menyatu dengan Malaya/Malaysia).
***
VIETNAM
Pada prinsipnya sistim kepemilikan tanah di negara sosialis sama, tanah dikuasai dan dimiliki oleh Negara. Demikian juga halnya dengan Vietnam, tiap orang diberi jatah untuk rumah tinggal yang harus dibangun keatas, tidak boleh kesamping. Penguasaan tanah diperkenankan melebihi jatah yang diberikan namun harus membayar pajak/sewa yang tinggi (progresif). 

Sedangkan untuk tanah pertanian akan diberikan jatah seluas 1 Ha. Jika pengelolaannya berhasil akan diberi tambahan 2 kali lipat dengan jangka waktu 50 Tahun. Pemerintah juga mendirikan Agri Bank untuk mendukung usaha pertanian.
***









Hukum Pertanahan Di Belanda Dan Indonesia


Proyek “the Building Blocks lor the Rule of Law” (Bahan-bahan pemikiran tentang Pengembangan Rule 01 Law/Negara Hukum) diprakarsai oleh Universitas Leiden dan Universitas Groningen dari Belanda, serta Universitas Indonesia. Proyek ini dimulai pada Januari 2009 dan sesuai jadual akan diakhiri pada September 2012. Keseluruhan rangkaian kegiatan daIam proyek ini terselenggara berkat dukungan finansial dari the Indonesia Facility, diimplementasikan oleh NL Agency, untuk dan atas nama Kementerian Belanda untuk Urusan Eropa dan Kerjasama Intemasional (Dutch Ministry of European Affairs and International Cooperation).

Tujuan jangka panjang dari proyek ini adalah memperkuat ikhtiar pengembangan negara hukum (rule oflaw) Indonesia, membantu Indonesia mengembangkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan memajukan pembangunan ekonomi (economic development) dan keadilan sosial (social justice).

Sejak awal proyek dirancang rangkaian pelatihan terinci yang mencakup bidang-bidang telaahan hukum perburuhan, hukum pidana, hukum keperdataan dan studi sosio-legal. Sebagai perwujudan rencana tersebut antara Januari 2010 dan Juli 2011, tigabelas Iokakarya yang mencakup bidang-bidang kajian di atas diselenggarakan di sejumlah lokasi berbeda di Indonesia. Lokakarya-lokakarya demikian melibatkan pengajar-pengajar hukum terkemuka, baik dari Universitas Leiden dan Groningen maupun dari lakultas-Iakultas hukum di Indonesia. Peserta lokakarya adalah stal pengajar dari kurang lebih delapan puluh fakultas hukum dari universitas-universitas di seluruh Indonesia. Proyek ini akan dituntaskan dengan penyeIenggaraan pada pertengahan 2012 konferensi intemasional di Universitas Indonesia.

Rangkaian buku pegangan dengan judul ‘Building Blocks for the Rule of Law’ yang merupakan kumpulan tulisan dari para instruktur dari pihak Belanda dan Indonesia serta masukan-masukan berharga dari peserta kursus merupakan hasil konkret dari proyek tersebut di atas.

Minggu, 21 Oktober 2012

Riwayat Tanah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Di Bumi Nusantara

SEBELUM MASA PENJAJAHAN BELANDA.
               Penguasa dan pemilik tanah di Nusantara adalah  Kerajaan (tanah swaparaja) dan Mayarakat Adat (tanah ulayat).

PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA.
Diberlakukan :
  1. Domain Verklaring : Semua tanah milik Pemerintah Jajahan kecuali apabila bisa membuktikan pemilikannya sehingga Pribumi dianggap sebagai OKUPAN (penggarap), karena pembuktian kepemilikan harus tertulis sesuai Hukum Perdara Barat, hal ini tidak memungkinkan bagi Masyarakat Adat.
  2. Agrarish Wet : untuk mengundang investor maka diterbitkan Hak Eigendom untuk hak milik, Hak Erpach untuk perkebunan, Hak Opstal untuk bangunan.  Tanah kerajaan dipetakan sebagai Sultan Ground (tanah swapraja). Hak Adat dan hak masyarakat adat tidak diakui.
  3. Kojnklik  Besluit : Hanya warga eropa yang dapat memiliki Hak Eigendom atau yang dipersamakan dengan warga eropa dengan Besluit dari Ratu Belanda, sehingga hanya dipunyai oleh warga timur asing yang kaya (seperti Oei Tiong Ham) dan para Raja2 nusantara yang berpengaruh.
  4. Hukum Perdata Barat.

               Sejak itu berduyun-duyun para kapitalis berkembang di bumi nusantara. Selama penjajahan terjadi ketidakadilan dan penghisapan manusia atas manusia dalam rangka pengembangan kolonial Belanda.
               Tahun 1928 terjadilah SUMPAH PEMUDA dimana  Bangsa Indonesia diikrarkan di Nusantara oleh para pemuda dari berbagai daerah Nusantara, walaupun sebelumnya telah ada pertemuan para raja se Nusantara  untuk bersatu tetapi belum sampai terwujud dalam bentuk ikrar kebulatan tekad  sebagaimana para pemudanya di Nusantara.

PADA MASA PROKLAMASI KEMERDEKAAN.
               Pada saat proklamasi kemerdekaan NKRI oleh Soekano-Hatta dinyatakan oleh Soekarno bahwa wilayah NKRI adalah wilayah bekas Jajahan Belanda dari Sabang sampai Marauke, namun disanggah oleh Gubernur Jenderal Belanda yang tidak rela melepaskan wilayahnya.  Raja Hamengkubuwono  IX yang diikuti Raja Pakualam VIII menggabungkan diri dengan NKRI saat itu juga, sedang raja-raja lainnya tidak bergabung dengan NKRI sehingga Nusantara menjadi Republik Indonesia Serikat, NKRI ada  dengan modal wilayah Jogjakarta.  Setelah Nusantara aman dari Gerakan Operasi Militer Belanda ke I & II maka Jogjakarta dinyatakan sebagai Daerah Istimewa (1953), sedangkan eks kerajaan lainnya tidak dinyatakan sebagai Daerah Istimewa, malah dinyatakan sebagai tanah yang menjadi milik bangsa Indonesia yang dikuasai negara dan dijadikan tanah obyek land reform dibagikan kepada para penggarapnya.                                    
            Sejak tahun 1948 telah terbentuk Panitia Agraria Jogjakarta dengan semangat  menegakkan keadilan dan menghapuskan penghisapan manusia atas manusia di tanah NKRI dengan menghindarkan diri dari NEO KOLONIALIS dan IMPERIALIS. Sangat disadari fondasi lokal Nusantara adalah agraris  dan maritim, maka tanah sebagai modal dasar bagi petani sebagai alat ekonomi dan tempat tinggal dan bagi nelayan sebagai tempat tinggal serta laut sebagi tempat mencari nafkah dengan perahu/kapal sebagai alat ekonominya.       
               Pada tahun 1960 di syahkan Undang-Undang no 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dikenal dengan UUPA  mencabut :
Agrarisch Wet.
Domein Verklaring.
Kojnklik Besluit.
Buku II Hukum Perdata Barat (Indonesia) sepanjang yang berkaitan dengan tanah tidak diberlakukan lagi dan diganti berdasarkan Hukum Adat.
               Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah penjabaran dari  Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Bumi, Air dan Ruang Angkasa serta kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, serta perekonomian dibangun berazaskan kekeluargaan (gotong royong). Selain itu UUPA juga menjabarkan sila-sila pada Pancasila ke dalam pasal-pasalnya, antara lain bahwa tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia bersifat ABADI.  Artinya Negara tidak memiliki tanah karena  Domein Verklaring tidak diberlakukan oleh NKRI. Pemilik tanah NKRI adalah Rakyat /Bangsa Indonesia termasuk kekayaan alam yang dikandungnya. Negara tidak memiliki tanah NKRI tetapi sebagai wakil organisasi bangsa menguasai tanah dalam arti mengatur pemilikan  dan memimpin penggunaannya  diwilayah tanah kedaulatan untuk kesejahteraan baik secara perorangan maupun bersama-sama (gotong-royong). Pengertian tanah di UUPA adalah kulit bumi termasuk diatas dan dibawahnya sepanjang berhubungan dengan penggunaan tanahnya, laut termasuk kulit bumi dan berada diatas tanah. Contoh lainnya, yaitu : hanya WNI yang dapat memiliki tanah, pemilikan tanah dibatasi, tanah pertanian hanya untuk petani, tanah berfungsi sosial, dilarang tanah sebagai barang spekulasi, monopoli tanah dilarang, kecuali diatur dalam undang2 tersendiri dsbnya. 
               BUNG KARNO  menyatakan bahwa tanggal 24 September 1960, hari lahirnya UUPA yang merupakan hari kemenangan bagi RAKYAT TANI INDONESIA, dengan diletakkan dasar-dasar bagi penyelenggaraan Land reform  untuk mengikis habis sisa-sia imperialisme   dalam lapangan pertanahan, agar rakyat tani dapat membebaskan dari segala macam bentuk penghisapan manusia atas manusia dengan beralat tanah, menuju ke arah masyarakat adil dan makmur.                
               UUPA adalah alas bangunan NKRI menuju masyarakat adil dan makmur,  sehingga pada tahun 1963 terbit Keputusan Presiden  Republik Indonesia no 169/1963 tentang penetapan 24 september sebagai HARI TANI.  Amanat politik UUPA jelas sekali terbaca dalam konsideran Keppres tersebut bahwa  ; (i) Tanah sebagai  basis perekonomian nasional; (ii). Perekonomian yang berdaulat diatas kedaulatan rakyat tani; (iii). Menghindarkan diri dari Nekolim, neoimperialisme dan neokolonialisme, dalam bentuk penghisapan manusia atas manusia; (iv). Secara teknis dilaksanakan melalui dua sayap, land reform dan acces reform.
               Setelah UUPA dengan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perpu) no 224/1961 dlaksanakan Land reform terhadap tanah kelebihan pemilikan, tanah absente (tanah milik yang terletak di luar kecamatan dan kecamatan perbatasan letak tanah) , tanah swapraja (kerajaan/kraton) dan tanah ex swapraja yaitu tanah2 kerajaan yang tidak bergabung dgn NKRI pada masa RIS kecuali kraton Ngayogjakarta dan Pakualaman yang dinyatakan istimewa dan belum memberlakukan UUPA di Daetah Istimewa Yogyakarta.
ERA ORDE BARU.
               Tragedi tahun 1965 menghambat pelaksanaan land reform dengan  pergantian rezim pemerintahan karena disinyalemen bahwa UUPA berpaham kekiri-kirian oleh rezim orde baru. Padahal UUPA  merupakan penjabaran keagraiaan/pertanahan sebagai aplikasi  sila-sila dalam Pancasila  dan satu-satunya undang-undang yang dibuat oleh Panitia Negara di RI. UUPA berazaskan kerakyatan sebagai konsekwensi logis dari tanah merupakan karunia Tuhan YME kepada bangsa indonesia bersifat abadi, dimana rakyat adalah pemilik abadi tanah NKRI.
               Namun pada tahun 1967 terbitlah Undang-Undang Pokok Kehutanan, Undang-Undang Pertambangan, Undang-Undang Pengairan, Undang-Undang Perindustrian dan Undang-Undang Penanaman Modal Asing/ Dalam Negeri tidak mengacu UUPA dan memberlakukan kembali Domein Verklaring untuk mengundang para kapitalis dan neoliberalis ke bumi Nusantara dengan dalih pembangunan membutuhkan investasi, sehingga mengakibatkan tumbuh suburnya para spekulan tanah dan monopoli tanah dikalangan konglomerat. Sejak saat itulah dimulai penjajahan periode kedua terhadap Rakyat indonesia oleh pihak luar yang difasilitasi bangsa sendiri.
               Padahal jika UUPA diberlakukan dan dijadikan acuan dari Undang-Undang lainnya yang berkaitan dengan tanah maka seluruh kekayaan alam yang terdapat di atas dan yang terkandung di dalam tanah adalah milik bangsa sehingga seluruh usaha yang terkait, yang  selama ini dilakukan Badan Usaha Milik Negara/Daerah ataupun kerja sama dengan pihak asing haruslah di audit setiap tahunnya sebagai pertanggung jawaban kepada bangsa selaku pemilik tanah.
               Dilain pihak Undang-Undang no 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang sifatnya menyeragamkan desa berakibat merusak tatanan Desa Adat apalagi dengan adanya Inpres Bantuan Desa menjadikan pemecahan Desa Adat secara administrasi.
               Rancangan Undang-Undang Pertanahan berdasarkan hukum adat sebagai penjabaran UUPA hingga saat ini belum terpikirkan untuk disusun oleh BPN RI, serat masih diberlakukannya bukti hak lama (Agrarich Wet) oleh Pengadilan Negeri yang berdasarkan Kitab Hukum Perdata Indonesia (yang mengacu pada hukum perdata Belanda), bukan hukum adat sebagaimana perintah UUPA, juga Pengadilan Land Reform dibubarkan dan hingga saat ini belum dibentuk Pengadilan Agraria/Pertanahan. Kesemuanya itu menambah makin ruwetnya  pertanahan di NKRI apalagi sampai saat ini belum terbangun data base bidang tanah secara nasional. Pembonsaian UUPA dan carut marut pertanahan di NKRI semakin marak sejak rezim orde baru yang berlangsung sampai saat ini.
               Kasus-kasus konflik agraria dimasyarakat yang marak terjadi saat ini menunjukkan adanya kebijakan negara yang salah yang terus dilaksanakan yaitu memberlakukan Domain Verklaring kembali di bumi nusantara  dan dibonsainya UUPA mengakibatkan menjerat rakyatnya sendiri sehingga tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan NKRI oleh bangsa Indonesia yang diproklamirkan Soekarno-Hatta.


SARAN PEMECAHAN.
Membangun data base Sistem Informasi Manajemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS) yang berisi  tentang informasi bidang tanah berupa penguasaan, pemilikan , penggunaan dan pemanfaatan tnah (P4T)  dengan melibatkan partisipasi masyarakat,  sekaligus menyadarkan akan catur tertib pertanahan yaitu Tertib administrasi pertanahan, Tertib hukum pertanahan, Tertib penggunaan tanah dan Tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup. Juga melaksanakan  inventarisasi tanah adat dan wilayah tanah ulayat, apakah masih ada lembaganya, apakah masih ada aturannya baik tertulis maupun lisan dan apakah masih dipatuhi oleh masyarakat adatnya, sebagai bahan referensi penyusunan Rancangan Undang-Undang Pertanahan berdasarkan Hukum Adat melalui Kelompok Swadaya Mayarakat Manajem Pertanahan Berbasis Masyarakat (KSM MPBM). KSM MPBM dipilih melalui Rembug Desa, 4 Pemuda Desa sebagai tim pengumpul dan pengelola data bidang tanah P4T, 5 Tokoh Masyarakat Desa yang menguasai riwayat tanah desa sebagai tim verifikasi data dan mediasi pertanahan. MPBM adalah pengelolaan administrasi pertanahan dalam satu unit masyarakat desa/kelurahan, merupakan upaya revitalisasi otonomi desa (sistem Pemerintahan Adat) dengan pendekatan partisipatif dan swadaya (self-governing community) dalam rangka mewujudkan masyarakat makmur mandiri dan alam lestari dengan menerapkan catur tertib pertanahan dalam kerangka NKRI.
Melaksanakan UUPA secara konsekwen dengan men “judicial review” peraturan perundangan dan lembaga yang masih melaksanakan Domein Verklaring dan Agrarich Wet.
Melaksanakan Land reform yang ditindak lanjuti akses reform, khususnya tanah pertanian sebagai modal ekonomi bagi Rakyat Petani Miskin pemilik NKRI dan memperkuat perekonomian nasional negara agraris. Demikian juga terhadap Nelayan dan warga Maritim, selain memberi tanah untuk tempat tinggal juga diberikan akses reform berupa sarana dan prasarana sebagai alat ekonominya untuk meningkatkan kesejahteraannya dan kedaulatannya. Petani penerima tanah obyek land reform diberikan hak sementara (non permanen) dilarang mengalihkan dan hanya boleh diwariskan kepada anaknya berprofesi petani dengan sepengetahuan Panitia Land Reform Desa setempat, demikian juga perlakuannya sama terhadap para Nelayan dan warga Maritim tersebut.
Menyusun dan mengesahkan UU Pertanahan Nasional berdasarkan hukum adat sebagai tindak lanjut perintah UUPA. Hak atas tanah  berdasarkan hukum adat hanya dua yaitu hak tetap (permanen) dan hak sementara (non permanen), semuanya diatas Hak Milik Bangsa indonesia yang bersifat ABADI.  Tanah sebagai jaminan pinjaman di bank hanya sepanjang waktu hak yang diberikan, namun apabila diterlantarkan haknya hapus dan kembali menjadi  tanah milik bangsa indonesia yang dikuasai negara, maka yang bisa dijaminkan pada bank itu hanya kegiatan usahanya diatas tanah, hal tersebut juga  sebagai pembatasan gerak spekulan tanah dan pembobolan dana bank. Pembebasan tanah untuk kepentingan sosial dan infrastruktur lebih mudah karena ada data base bidang tanah maka harga tanah dapat di “freezing”, tidak masuk angin oleh para spekulan tanah, serta ada kesadaran bahwa tanah NKRI adalah milik semua Warga Negara Indonesia sehingga menumbuhkan rasa nasionalisme kebangsaan dan rasa sosial lebih peka dimasyarakat serta ihklas melepaskan hak atas tanahnya bagi kepentingan umum. Undang-Undang ini juga melindungi rakyat kecil yang berkaitan dengan tanah dari ketidakadilan berupa bentuk bagi hasil antara lain kerja sama opersional, built operation and transfer dan lain sebagainya maupun kegiatan konsolidasi tanah, land reajustmen dan land urban renewel.
Untuk menegakkan keadilan dalam pertanahan harus dibentuk Pengadilan Khusus Keagrarian/Pertanahan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Pertanahan, bukan lagi di Pengadilan Umum yang menganut Hukum Perdata Indonesia.
Mengoptimalkan fungsi dan peranan hasil administrasi dan hukum pertanahan, yaitu sertipikat tanah sebagai sarana kontrol kepemilikan tanah dan tertib penggunaan tanah, tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup.
Menyusun Land Use Planning Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota dan Rencana Teknis Tata Guna Tanah yang berdasarkan data base bidang tanah. Dengan simtanas bidang tanah dapat diketahui Present Land Use, Land Capability (Wilayah Tanah Usaha) sehingga dapat dibuat Neraca Penggunaan Tanah yang memudahkan pembuatan Land Use Planning pada skala Pemerintahan sampai yang terbawah yaitu Desa/Kelurahan. Semua stake holder pertanahan harus tahu akan hak dan kewajibannya karena tertulis dalam sertipikat tanah dan sebagai sosial kontrol pengawasannya dibantu oleh KSM MPBM di desa/kelurahan yang bersangkutan dalam rangka pembangunan berkelanjutan. Pemerintah Pusat membuat Norma, Standart dan Kriteria Penyusunan Tata Guna Tanah, Pemerintah Daerah membuat Rencana Tata Guna Tanah sedangkan masyarakat di desa mengawasi pelaksanaannya.
Pemberian Hak Permanen pada tanah Keraton Ngayogjakarta dan Pakualaman serta untuk keraton-keraton lainnya hanya di lokasi keraton yang bersangkutan saja, tidak terhadap tanah yang di luar kraton (karena tanah diluar kraton sebagai tanah swapraja dan atau tanah eks swapraja telah dinyatakan oleh UU menjadi tanah negara yaitu tanah milik bangsa indonesia yang dikuasai negara dan  dijadikan obyek tanah land reform yang dibagikan pada petani penggarapnya). Demikian juga dengan Tanah Ulayat Masyarakat Adat yang masih eksis keberadaannya dilapangan sebagai mana hasil pendataan masyarakat melalui KSM MPBM.
Agar tanah NKRI bisa dipergunakan oleh bangsa Indonesia sepanjang masa maka           urusan administrasi pengelolaan pertanahan yang meliputi penguasaan dan pemilikan tanah (land tenure), penggunaan tanah (land use), nilai tanah (land value) dan pengembangannya (land development) harus dalam satu manajemen (lembaga). Kebijakan pertanahan (land policy) untuk pembangunan berkelanjutan dapat disusun apabila ada simtanas bidang tanah diseluruh NKRI sampai pada tingkat pemerintahan terbawah (desa/kelurahan) telah terbangun, dapat dengan mudah terbangun apabila dengan partisipasi masyarakat secara gotong royong melalui KSM MPBM.
BPN RI ( Lembaga Pemerintahan Non Kementrian) sebagai koordinator pengelola lokasi kegiatan dalam mensupport jalannya pembangunan , kedudukannya harus sejajar dengan Bappenas sebagai koordinator kegiatan/proyek dan Kementerian Keuangan sebagai penyedia anggaran dalam pembahasan RAPBN, demikian juga tingkat pemerintahan daerah dalam pembahasan RAPBD.
BPN RI harus dipimpin oleh seorang karier di BPN   ataupun mantan BPN yang berpengalaman mempunyai jam terbang tinggi dan pernah menjabat di kebijakan, operasional, pengawasan, riset dan pengembangan , berintegritas tinggi, jujur dan mempunyai jiwa nasionalisme yang teruji. Hindari pimpinan BPN selama ini selalu bukan dari pejabat karier sehingga arah pembangunannya tidak jelas, tidak pernah ada pembinaan korps dan selalu ada kepentingan pribadi maupun kelompok dalam penempatannya sebagai Ka BPN RI.
Merevitalisasi kembali Tupoksi BPN RI sebagaimana pada UUPA yaitu menegakkan keadilan dari penghisapan manusia atas manusia yang berkaitan dengan tanah, sebagai rasa mensyukuri karunia Tuhan YME oleh Bangsa Indonesia sebagai pemilik tanah yang bersifat ABADI.                           
KSM MPBM dibekali dengan 4 buku yaitu Buku A berisi riwayat kepemilikan tanah, Buku B berisi hasil pemetaan bidang tanah yang sudah diverifikasi dan disetujui para pemilik tanah (stake holder) yang merupakan kontra diktur delimitasi relatif (belum tetap karena belum diukur secara kadastral), Buku C berisi mutasi tanah dan masalah pertanahan baik kepemilikan maupun penggunaan tanahnya, Buku D berisi Rencana Tata Ruang, Tata Guna Tanah, Tata Bangunan dan Tata Guna Air. Buku ABCD tersebut akan ditutup buku setiap akhir tahun atau pada saat adanya pergantian pejabat Kepala Desa/Kelurahan yang diketahui Pejabat BPN Kabupaten/Kota setempat. Data MPBM dapat dijadikan bahan aspirasi masyarakat pada Musyawarah Nasional Perencanaan Pembangunan Tingkat Kecamatan, demikian seterusnya sampai ke tingkat Pusat di Jakarta.
KSM MPBM dapat diberdayakan sebagai Panitia Landreform Desa setempat dalam pelaksanaan Reforma Agraria dan bahkan bisa dijadikan embrio pembentukan Koperasi Primer (Koperasi Budaya, bukan sekedar ekonomi) di Desa, demikian selanjutnya di kecamatan menjadi Koperasi Sekunder, di kabupaten/kota menjadi Koperasi Tersier dan seterusnya sampai ke pusat menjadi Koperasi Budaya Nasional. Pada tingkatan Koperasi Tersier akan didapatkan tokoh masyarakat dari kecamatan yang bisa menjadi anggota legeslatif berkwalitas dan seorang pemimpin untuk memimpin kabupaten/kota yang besangkutan dengan cara musyawarah mufakat sebagaimana implementasi sila ke 4, Kerakyatan yang dipimpin dalam hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan sila ke 5, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah yang dimaksud dengan Demokrasi Pancasila, akar jati diri bangsa yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu kasih sayang, gotong royong, tolong menolong dan kekeluargaan. Bukan Demokrasi Barat dengan Pemilu dan Pilkada yang mendasarkan persaingan, individualistis, mencari kekuasaan dan uang untuk melanggengkan kekuasaannya dan seterusnya.                                                                              
Kesemua hal tersebut sebagai aplikasi dari keempat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ikha dalam kaitannya dengan Demokrasi Pancasila serta tanah sebagai wahana kiprahnya rakyat dan pemerintah dalam NKRI.
Bagaimana peran Partai Politik, seharusnya dalam rangka Nation and Character Building mempersiapkan Sumber Daya Manusia dengan pelatihan-pelatihan penyadaran ideologi kebangsaan maupun ketrampilan individu dalam menghadapi tantangan global, sebagaimana yang telah dirintis Yayasan Obor Tani Semarang membangun Sentra Pemberdayaan Tani Tanaman Buah Unggul pada 18 Desa di Jawa Tengah.

Jakarta, Desember 2011

Pengamat Agraria/Pertanahan
Anggota Dewan Pengawas Yayasan Obor Tani Semarang.

Kelembagaan BPN RI Masa Depan


Latar Belakang

UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah pokok-pokok acuan bagi Negara dalam mengelola kulit bumi NKRI meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (disebut sumber-sumber Agraria) dalam sistem hak menguasai (pasal 2 UUPA) bukan sebagai domain Negara yang berasal dari Hak Bangsa (Pasal 1 UUPA). Hak menguasai tersebut memberi wewenang untuk: 1. mengelola (mengatur dan menyelenggarakan) tata guna tanah (tanah=wilayah Negara=sumber-sumber Agraria) menuju makmur mandiri berkelanjutan bagi seluruh wilayah dan masyarakat NKRI, 2. menetapkan dan mengatur hubungan hukum antara orang atau badan hukum terhadap sumber-sumber Agraria/tanah dalam artian wilayah (memberikan dan menetapkan Hak atas sumber-sumber Agraria), 3. menentukan dan mengatur perbuatan hukum antara orang atau badan hukum atas sumber-sumber agraria untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat secara berkeadilan dan berkelestarian bagi seluruh rakyat Indonesia dalam wadah NKRI.

Setelah bagian-bagian dari sumber-sumber agraria tersebut dituangkan dalam undang-undang sebagaimana yang diminta oleh UUPA dan undang-undang tersebut kemudian dikembangkan dan diampu oleh suatu departemen dalam koordinasi Presiden dalam kabinet, fakta telah menunjukkan bahwa telah terjadi disharmoni dalam pengelolaan sumber-sumber agraria yang terwariskan secara terus menerus dari kabinet satu ke kabinet berikutnya tanpa mampu melakukan koreksi dimana kekeliruannya.

Dari UU Kehutanan yang mengurus tegakan pohon telah berkembang menjadi kawasan hutan yang bermakna penguasaan tanah berdampak tumpang tindih dengan dengan beberapa hak ulayat, kawasan hutan menjadi konsesi hutan seperti HGU tapi tidak tersentuh menjadi HGU karena diterjemahkan bukan masuk dalam UUPA/tugas BPN RI dan hak ulayat terabaikan begitu saja setelah kawasan hutan ditetapkan hanya berdasarkan kesepakatan, sementara hak ulayat diakui oleh UUPA. Domein Negara dihapuskan menurut UUPA, tetapi versi UU Kehutanan negara seolah-olah “bertindak sebagai domein” menyewakan dengan dalih produksi hutan bagi pemasukan uang pada negara/devisa melalui konsesi hutan; dipihak lain hak ulayat diabaikan. Pemberian konsesi hutan melanggar rasa keadilan masyarakat, karena menyimpang dari UUPA.

Wilayah negara menjadi terbagi manjadi urusan tanah diluar kawasan hutan ditangani BPN, sedangkan kawasan hutan menjadi urusan Departemen Kehutanan. Dengan demikian manajemen Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (dalam artian wilayah/sumber-sumber agraria) tidak intergratif. Dengan tidak intergratifnya neraca sumber-sumber agraria tidak dapat disusun dengan cermat pengelolaannya dalam menggunakan dan memanfaatkannya.

UU Tata Ruang yang saat ini ada pada Departemen PU berwenang mengatur ruang, tumpang tindih dengan tata guna tanah yang dimaksudkan dalam UUPA hak menguasai pasal 2, seolah-olah mengatur yang lain padahal sama. Mestinya Departemen PU mengatur Tata Bangunan bukan tanah/ruang.

UU Pertambangan memanfaatkan kandungan tubuh bumi, seolah-olah terlepas dari tanah yang ada di atasnya, sehingga pengelolaan tambang yang sarat komplik dengan penguasaan dan pemilikan tanah (yang diadministrasikan BPN). Sawah subur yang dibangun oleh investasi beberapa generasi sirna begitu saja dan tidak akan kembali karena ada tambang dibawahnya, tanpa ada analisa yang cermat berapa kerugian yang diderita oleh generasi yang akan datang, karena hasil tambang umumnya ternikmati sesaat, yaitu saat ini saja.

Disharmoni pengeloaan sumber-sumber agraria terjadi pula di laut, rekalamasi dan penangkapan ikan semestinya sudah memperhatikan sistem pengelolaan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan yang terintergrasi antara kepentingan tata guna tanah/land use planning, hubungan hukum dan perbuatan hukum sebagaimana pasal 2 UUPA. UU yang lahir mengelola perairan tidak mempertimbangkan UUPA, seoalah-olah terpisah dgn UUPA. Semestinya semua UU yang berkaitan dengan kulit bumi/tanah, meliputi ruang, air, hutan, tambang, dan bangunan terintergrasi dalam UUPA agar dapat dikelola dengan baik sesuai dengan maksud UUPA. Disharmoni karena kegagalan koordinatif di tingkat pusat dalam menyelenggarakan hak menguasai dari Negara (Pasal 2 UUPA) mengakibatkan kekurang cermatan dalam menggunakan dan memanfaatkan sumber-sumber agraria/tanah dalam arti wilayah, bagi generasi saat ini (belum optimal). Dan merupakan pemborosan bagi generasi yang akan datang (akibat kerusakan yang rehabilitasinya tidak tuntas).

Usulan Kelembagaan Pengelola Sumber - Sumber Agraria Kedepan

Dengan berdasar pada pemikiran tersebut maka perlu mengembangkan kewenangan dan tanggung jawab BPN RI mengelola penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria/tanah dalam arti wilayah dalam NKRI.

BPN RI merupakan lembaga pemerintah setingkat Departemen bertanggung jawab langsung kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam menjalankan hak menguasai dari negara dalam mengelola penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber-sumber agrarian (tanah dalam arti wilayah) meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk tubuh bumi di bawah laut di wilayah NKRI.

Administrasi penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria ada pada satu tangan BPN RI, sedangkan untuk penggunaan dan pemanfaatannya dalam garis koordinasi dengan Departemen Teknis dalam koridor landuse planning yang dilembagakan melalui Dewan Reforma Agraria Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Sasaran kerja BPN RI adalah seluruh bidang tanah (dalam arti wilayah termasuk laut) di wilayah NKRI baik yang telah diberi Hak Atas Tanah Pasal 16 UUPA atau belum (seperti Hutan Negara, tanah ulayat, tanah timbul, hasil reklamasi). Yang subyeknya perorangan, kelompok atau badan hukum dapat diberikan sertipikat sebagai tanda bukti hak hingga hak milik, sedangkan yang subyeknya Departemen dalam rangka menjalankan penggunaan dan pemanfataannya, cukup diberikan hak pakai.

BPN RI memiliki rentang staf hingga tingkat kecamatan yang bersifat dekonsentratif sebagaimana POLRI dan ABRI sebagai pembina dan pengawas penyelenggaraan Manajemen Pertanahan Berbasis Masyarakat (MPBM) di tiap-tiap desa/kelurahan.

Langkah - Langkah Mengembangkan Kelembagaan BPN RI ke Depan

Membangun Manajemen Pertanahan Berbasis Masyarakat (MPBM) di tiap desa/kelurahan seluruh wilayah NKRI secara gotong royong dalam kurun waktu 2-3 tahun (semboyan Bapak Presiden, “bersama kita bisa”). Pedoman Teknis pembangunan dan operasional MPBM dibuat Pusat, pengawasan pembangunannnya dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi, pengadaan prasarana kantor (POS MPBM) dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten, survey lapang menggunakan pendekatan padat karya yang didanai dari Alokasi Dana Desa (ADD) yang biasanya diperuntukkan membiayai pemberdayaan masyarakat. ADD sebagian berasal dari hasil pungut BPHTB yang 20% bagian pemerintah pusat bagi pengembangan administrasi pertanahan yang disatukan ke dalam DAU dan menjelma menjadi ADD dengan arahan penggunaan berbentuk petunjuk Bupati/Walikota.

Pada tahun ke 5, jejaring MPBM dengan fasilitasi Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota terbangun dengan pembiayaan APBN, APBD Prov, dan APBD Kab/Kota. MPBM Desa/Kelurahan terhubung dalam satu jejaring dan terbina oleh perangkat Agraria di tingkat kecamatan, antar kecamatan terhubung dalam satu jejaring di tingkat Kabupaten/Kota pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dan antar Kabupaten/Kota terhubung dalam satu jejaring dengan Kanwil BPN Provinsi dan menjadi jejaring Nasional dalam bagian SIMTANAS.

Operasional MPBM diutamakan dengan pengembangan ke arah self financed (hasil pelayanan Surat Keterangan Data Tanah/SKDT) yang masuk dalam skema pembiayaan berdasarkan Peraturan Desa/PERDES dan juga masuk dalam skema pembiayaan pendaftaran tanah sistematis. (Dengan MPBM duplikasi penganggaran untuk pemetaan bidang tanah dapat diperkecil hingga ditiadakan) untuk memantapkan kemandirian desa yang sudah otonomi sebelum NKRI ada.

Sekretariat penyelenggaraan Kewenangan Agraria yang dikuasakan ke Daerah (9 kewenangan) berada dalam satu gedung/ruang dengan Pusat Data MPBM dan Pusat Data Agraria (SIMTANAS PROV/KAB/KOTA) yang personilnya terdiri dari Pemerintah Daerah, BPN (Provinsi/Kanwil, Kabupaten/Kota dan Kantor Pertanahan) dan Departemen atau Dinas teknis terkait. Misalnya daerah kepulauan ada staf Dinas Kelautan dan Perikanan mengisi formasi sekretariat SIMTANAS Kabupaten, daerah yang potensi tambangnya besar, staf Dinas Pertambangan berkantor di sekretariat SIMTANAS KAB dalam wadah Dewan Reforma Agraria Kabupaten.

Paralel dengan pembentukan Dewan RA Kabupaten/Kota dan Provinsi, di Pusat dibentuk Dewan Reforma Agraria Nasional yang bersifat koordinatif dan konsultatif bagi Kepala Negara yang diketuai oleh Presiden selaku Kepala Pemerintahan, ketua harian BPN RI, sekretaris DIRJEN PEMERINTAHAN UMUM, dan beranggotakan DEPARTEMEN TEKNIS pengelola sumber-sumber agraria, meliputi Kehutanan, PU, Kelautan dan Perikanan, Pertanian, Pertambangan dan Energi, BAPPENAS (di daerah Bappeda). Pengintergrasian kelembagaan dan kewenangan di Pusat dapat dilakukan Ditjen Tata Ruang dengan Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan dilebur menjadi satu lembaga di BPN RI pada Kabinet mendatang.

Adapun struktur organisasi kelembagaan BPN RI masa depan adalah sebagaimana skema terlampir.



Membayar Hutang Harapan Para Pendiri Bangsa Yang Terabaikan Dengan Merajut Kembali “BHINEKA TUNGGAL IKA ” Yang Tererosi


MENYONGSONG 100 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL


Latar Belakang Permasalahan

1. Yuridis dan Historis
Bangsa Indonesia adalah sebuah Bangsa besar yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang bersatu dan terikat erat dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Bangsa besar ini mendiami Wilayah yang besar pula, tersebar dalam berbagai pulau dan terdiri dari desa-desa adat yang sarat dengan nilai – nilai lokal yang memuat kesatuan dan harmonisasi antara Manusia, tanah dan alam semesta. Lembaga desa adat dengan nomenklatur yang bermacam-macam seperti desa, nagari, patuanan, dan marga telah eksist jauh sebelum NKRI terbentuk. Sejak NKRI terbentuk, perundang – undangan yang menyangkut dengan tanah (dalam arti kulit bumi) dan penjabarannya kurang dapat mengayomi nilai – nilai tanah adat yang sebelumnya sudah ada.

Administrasi pertanahan yang berlangsung secara adat tesebut dalam NKRI dikembangkan melalui UU No. 5 tahun 1960/UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang berakar pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. UUPA tersebut hanya mengaitkan dan mengakomodasi nilai nilai tanah ulayat / adat melalui klausul “sepanjang masih ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, akan tetap diakui oleh UUPA”. Sampai dengan saat ini, belum pernah ada kebijakan teknis operasional untuk membuktikan klausul “sepanjang masih ada” tersebut, kecuali melalui Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN Nomor 5 tahun 1999 tentang Inventarisasi tanah adat. Permasalahan yang terjadi adalah belum dilaksanakannya inventarisasi tersebut oleh Pemerintah Daerah hingga tuntas. Hal ini, secara tidak langsung mengakibatkan hilangnya nilai – nilai luhur keharmonisan dalam pengelolaan tanah adat, karena ketidak jelasan data subyek dan obyek dari tanah adat tersebut .

Disisi yang lain, penyeragaman sistem Pemerintahan Desa yang telah dinasionalisasikan melalui UU Pemerintahan Desa – UU No. 5/1979, sama sekali tidak mengakomodasi dan mewadahi urusan pertanahan yang sebenarnya sarat dengan nilai-nilai lokal/adat. Dengan demikian pelaksanaan pemerintahan desa/nagari/marga dalam mengelola administrasi pertanahan tidak lagi menerapkan sistem tanah adat / ulayat secara otonomi, tetapi perlahan menjadi hilang dengan adanya UU tersebut.

Kurangnya perhatian terhadap administrasi pertanahan di desa, menimbulkan masalah-masalah pertanahan yang dapat mengganggu stabilitas pemerintahan. Pengembangan administrasi pertanahan berdasarkan UUPA/UU No. 5/1960 belum dapat mengaitkan dengan masalah tanah adat, kecuali pada saat dibutuhkan dan penanganannya dilakukan secara parsial, yaitu pada waktu terjadi konflik ataupun sengketa, pembebasan tanah, dan juga permohonan hak atas tanah menurut UUPA.

2. Faktual
Dalam sejarahnya, pelaksanaan sistem administrasi pertanahan di Indonesia berbeda – beda. Administrasi pertanahan di pulau Jawa, Madura dan Bali serta sebagian Lombok telah menerapkan Landrente sejak jaman penjajahan Belanda. Sistem adat yang telah eksist diakomodasikan dan diharmonisasikan ke dalam sistem C desa, Girik, Petuk atau Letter D yang sasaran utamanya adalah untuk mendukung administrasi pajak tanah (PBB), dan bukan untuk Land Tenure / Kadasteral.

Sistem C desa dikelola secara pribadi oleh Kepala desa dan Sekretaris desa/Carik, sering menimbulkan masalah pertanahan. Hal ini disebabkan pemeliharaan data pertanahannya tidak dilaksanakan secara simultan dan berkesinambungan, yang diperbarui hanya data tekstualnya, tanpa diikuti perubahan data spasialnya. Fragmentasi bidang tanah yang berlangsung terus menerus, tidak diikuti dengan pemutakhiran pada data spasialnya telah mengakibatkan kekacauan administrasi pertanahan.

Surat Keterangan sering diberikan oleh Kepala Desa dengan menggunakan nomor C yang bentuk bidang tanahnya atau kondisi di lapangannya sudah berubah. Administrasi pertanahan melalui mekanisme pendaftaran tanah berdasarkan UUPA mempercayai keterangan yang disebutkan dalam Surat Keterangan Kepala Desa, sedangkan Kepala Desa menggunakan Nomor C desa, tanpa mengetahui secara pasti letak bidang tanahnya (kepastian obyek) pada saat keterangan tanah tersebut dibuat. Hal ini menjadi potret dari administrasi pertanahan di desa, sedangkan tuntutan dinamika penyelenggaraan administrasi public, menghendaki kita untuk terus melakukan pembaruan dan updating. 

Di sisi lain kegiatan penyelenggaraan pendaftaran tanah di Indonesia dilaksanakan oleh jajaran Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang mencakup kegiatan pengukuran, pemetaan dan pembukuan hak atas bidang tanah, sangat terkait dengan aspek teknis, yuridis dan administratif dari data bidang tanah tersebut. Kekhasan penyelenggaraan pendaftaran tanah sangat terkait dengan pertimbangan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap subyek dan obyek hak atas tanah. Dengan demikian penerbitan sertipikat tanah harus menjamin kepastian hukum/kepastian hak atas tanah, yaitu kepastian terhadap subyek hak atau pemegang hak dari bidang tanah tersebut, serta kepastian obyek, yaitu kepastian mengenai letak, batas dan luas dari bidang tanah tersebut.

Sistem Pendaftaran tanah akan mempunyai kepastian hukum, apabila bidang tanah yang telah diukur tersebut dapat direkonstruksi mengenai letak, batas dan luasnya. Untuk dapat memberikan jaminan kepastian hukum atas obyek hak atas tanah tersebut, maka pengukuran bidang tanah harus memenuhi kaidah teknis kadastral dan kaidah yuridis. Cara dan prosedur perolehan data ukur bidang tanah tersebut harus memenuhi asas kontradiktur delimitasi, yaitu adanya persetujuan batas dari pemilik bidang tanah yang berbatasan serta adanya asas publisitas. Pelaksanaan pendaftaran tanah sangat memerlukan dukungan sarana titik-titik dasar teknik, yaitu titik yang mempunyai koordinat yang diperoleh dari suatu pengukuran dan perhitungan dalam suatu system tertentu, yang berfungsi sebagai titik kontrol atau titik ikat untuk keperluan pengukuran dan rekonstruksi batas. Sarana lain yang mempunyai arti sangat strategis, yaitu Peta Dasar, karena setiap bidang tanah yang telah diukur harus dilakukan pemetaan/dipetakan pada peta dasar dan peta dasar pendaftaran, selanjutnya bidang tanah tersebut diberi Nomor Identifikasi Bidang (NIB). Dari peta dasar pendaftaran ini kemudian dibuat peta pendaftaran, yaitu peta yang menggambarkan bidang-bidang tanah untuk keperluan pembukuan hak.

Kondisi obyektif saat ini mengenai data penyelenggaraan pendaftaran tanah adalah sebagai berikut :
dari bidang tanah yang berada diluar kawasan hutan, telah terdaftar atau telah terbit sertipikat bidang tanahnya adalah sebesar 41,5 % dan dari data ini yang telah terpetakan dalam peta dasar pendaftaran baru 5 %, sedangkan lainnya belum diadakan pemetaan/plotting bidang tanahnya pada peta dasar pendaftaran (flying parcel).Hal ini disebabkan pada saat penerbitan sertipikat bidang tanahnya, Kantor Pertanahan yang bersangkutan belum mempunyai sarana Peta Dasar.

Kondisi bidang tanah yang belum terdaftar sebanyak 58,5 % dan sertipikat bidang tanah yang belum terpetakan akan merupakan sumber kerawanan bagi timbulnya masalah pertanahan dikemudian hari.
Selain keadaan tersebut di atas, juga terjadi saat ini adalah penggunaan letter C desa sebagai alas hak, tanpa disertai dengan data spasial yang menjelaskan letak relative bidang tanah yang dimohon tersebut. Di lain pihak, sarana yang ada di sebagian besar Kantor-kantor Pertanahan belum mempunyai Peta Dasar secara lengkap yang digunakan untuk pemetaan bidang-bidang tanah yang telah dilakukan pengukuran dan atau telah terbit sertipikatnya.. Hal ini menimbulkan kerawanan dengan konsekuensi dapat terjadinya sertipikat ganda, yang diakibatkan tidak adanya control terhadap kejelasan atau kepastian letak bidang tanah yang telah dan akan diterbitkan sertipikatnya di atas Peta Dasar Pendaftaran, sehingga dapat menimbulkan permasalahan yang besar dan berkelanjutan di kemudian hari.

UUPA tidak memberikan kriteria mengenai eksistensi hak ulayat, namun hukum adat mempunyai fungsi sebagai kaidah aspiratif, yaitu dapat berlaku hukum adat apabila sesuatu hal belum diatur dalam suatu peraturan perundangan yang baru dan sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA. Konsepsi hukum adat bersifat komunalistis, yaitu adanya pengakuan hak bersama atas tanah yang dikenal dengan hak ulayat masyarakat hukum adat. Dengan demikian UUPA mengakui keberadaan hak ulayat ini sejauh menurut realita, masyarakat hukum adat tersebut masih ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

Proses pembebasan wilayah adat, dilakukan setelah adanya pernyataan pelepasan hak adat, baik yang disertai dengan penyerahan uang, jasa atau bentuk-bentuk lain yang disyaratkan oleh pemangku adat / tetua adat. Mengingat tidak adanya kejelasan mengenai batas wilayah adat atau batas desa adat untuk di Luar Jawa, maka surat pelepasan dijadikan sebagai alas hak dan menjadi bahan pertimbangan pada proses penegasan menjadi Tanah Negara.

Suatu bidang tanah atau beberapa bidang tanah yang berdekatan letaknya dapat memiliki dua atau lebih surat pelepasan adat. Keadaan yang tidak akurat ini, dapat menjadi sumber konflik atau sengketa pertanahan baik sebelum maupun pasca penerbitan sertipikat bidang tanah tersebut. (Kasus Tanah merupakan kasus dominan yang masuk ke Pengadilan dan 70% berindikasi pidana).

Keadaan yang tidak pasti (“KEADAAN YANG ABU – ABU”) dalam sistem C desa (di Jawa, Madura, Bali dan Lombok) dan sistem tanah adat (di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya, Kep. Riau, Kep. Maluku, NTT), sampai dengan saat ini belum pernah ada penanganannya secara tuntas, meskipun UUPA telah berumur 48 tahun. “Keadaan ABU-ABU” ini menjadi lahan yang subur bagi para mafia tanah dan “Oknum” yang selalu berkeinginan dan berupaya untuk mempertahankan keadaan tersebut.

Usulan Penyelesaian Masalah

1. Konsep dan Dasar Pemikiran
Saat ini, tuntutan masyarakat terhadap pelayanan publik yang berkualitas, antara lain pelayanan di bidang pertanahan semakin meningkat, baik dari sisi mutu pelayanan, jumlah produk dan kepastian waktu dalam layanannya.
Sejak NKRI terbentuk sampai dengan saat ini, pengampu utama UUPA, struktur kelembagaannya baru sampai pada tingkat Kabupaten dan Kota. Sedangkan untuk mewujudkan cita-cita proklamasi dan tercapainya tujuan UUPA, maka tersedianya infrastruktur fisik kadaster pada setiap kantor, yaitu data bagi setiap bidang tanah, seperti letak, batas, luas, penggunaan dan nama pemilik atau yang menguasainya, jenis hak serta data spasial berupa peta bidang tanah yang telah dipetakan pada peta dasar pendaftaran merupakan hal yang paling signifikan. Kadaster fisik inilah yang akan mendukung terselenggaranya legal cadastre (kadaster hukum) bagi BPN RI dan fiscal cadastre (kadaster pajak) bagi Direktorat Jenderal Pajak.

Pelaksanaan administrasi pertanahan saat ini memerlukan perhatian khusus, pendataan pertanahan perlu segera dilaksanakan melalui inventarisasi dan registrasi secara sistematis dan komprehensif. Berbagai cara dan metoda dapat dilakukan untuk melaksanakan pendataan ini. Salah satu terobosan ditengah-tengah keterbatasan sarana yang ada, yaitu dengan mengakomodasikan dan mengembangkan tata nilai yang telah ada di Desa dan yang telah berlangsung sejak sebelum NKRI terbentuk berupa masyarakat yang guyub yang mempunyai semangat kebersamaan, persaudaraan, kekeluargaan dan kegotong royongan.

Bertitik tolak dari hal tersebut, maka menjadi hal yang sangat signifikan apabila pendekatan utama dalam pelaksanaan ADMINISTRASI PERTANAHAN ADALAH DENGAN BERBASIS MASYARAKAT.
Memberdayakan masyarakat dalam proses pembangunan sistem pengelolaan bidang tanah Desa demi Desa perlu dikedepankan. Pendekatan ini terabaikan karena kita terlena oleh pendekatan keproyekan yang mengabaikan semangat masyarakat yang ada di desa-desa. Marilah kita bangkit kembali membangun Manajemen Pertanahan Berbasis Masyarakat secara serempak dengan semangat kebersamaan, persaudaraan, kekeluargaan dan kegotong royongan sebagai jalan keluar dari keterbatasan anggaran negara.
Perlu diintrodusir bahwa Manajemen Pertanahan Berbasis Masyarakat ini akan menjadi entry point bagi terwujudnya kadaster multi guna (multipurpose cadastre) yang akan menjadi landasan yang mampu :
Menutup sumber sengketa pertanahan, dengan menghilangkan “keadaan abu-abu”, sehingga dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang baik, efisien dan efektif.
Meningkatkan kualitas pengambilan keputusan yang menyangkut pembangunan dan perubahan keadaan sosial kemasyarakatan yang berkaitan dengan permasalahan pertanahan, agar tetap memenuhi azas keadilan dan kepastian hukum.
Meningkatkan kualitas perencanaan pembangunan, sehingga perumusan masalah dan strategi pemecahannya dapat mencapai sasaran yang ditargetkan dan sesuai dengan fakta dan realita yang ada.
Mendukung program penanggulangan kemiskinan dan kerusakan lingkungan.
Mendukung berbagai kepentingan manajemen pemerintahan yang meliputi manajemen Perpajakan, inventarisasi Aset Pemerintah, administrasi pertanahan, perencanaan tata bangunan, tata ruang, tata guna sumber daya air dan sumber daya alam lainnya serta perencanaan kelistrikan dan lain-lain, sehingga penyelenggaraannya dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien dan komprehensif.

Dalam rangka menyongsong 100 tahun kebangkitan nasional, kiranya tepat apabila Momentum ini kita gunakan sebagai pencanangan Pembangunan Manajemen Pertanahan Berbasis Masyarakat (MPBM) yang dapat dilaksanakan secara serempak di seluruh wilayah Indonesia. Dilain pihak disadari bahwa pembangunan MPBM melalui pendekatan keproyekan yang hanya menunggu sumber dana dari pemerintah, diyakini tidak akan efektif.

2. Uji Coba di Jawa Tengah  dan Penjajagan Kemungkinan Pelaksanaan di Provinsi Kalimantan, Maluku Nusa Tenggara dan Papua.

Pelaksanaan Uji coba pembangunan MPBM yang tersebar di 35 Desa / Kelurahan dalam 35 Kabupaten/Kota telah diselenggarakan di Jawa Tengah pada tahun 2006 dengan menggunakan biaya ABT APBN BPN RI. Kegiatan tersebut mendapat dukungan penuh dari Gubernur Jawa Tengah melalui 3 (tiga) Surat Edarannya dan mendapat respons positif dari Pemerintah Kabupaten / Kota dan Desa-desa di Jawa Tengah.

Pelaksanaan di Desa-desa lainnya dilakukan dengan membangun sarana kerja MPBM secara bertahap dengan swadaya masyarakat, APBD Kabupaten / Kota atau Alokasi Dana Desa. Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota yang ada di Jawa Tengah berkeinginan untuk menyelesaikan 8.533 Desa / Kelurahan pada akhir tahun 2010. Hal ini direncanakan, sehubungan dengan adanya rencana Perubahan Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah.

Hasil analisa terhadap penerapan uji coba MPBM di propinsi Jawa Tengah, pada dasarnya dapat dijadikan acuan bagi penerapan MPBM pada wilayah Indonesia lainnya yang masih menganut penguasaan tanah adat sebagai landasan dalam penegasan Tanah Negara, yaitu dengan melaksanakan secara konsekuen PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA / KEPALA BPN No. 5 tahun 1999 melalui kerjasama, koordinasi , integrasi dan sinkronisasi kelembagaan, yaitu antara DEPARTEMEN DALAM NEGERI dan BPN RI.

Gambaran Singkar MPBM (Manajemen Pertanahan Berbasis Masyarakat)

MPBM secara harfiah dimaksudkan sebagai berikut : Manajemen ( Planning, Organizing, Actuating, Controlling ). Pertanahan ( Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan tanah). Berbasis Masyarakat ( Dikelola dan Diperuntukkan Bagi Kemakmuran dan Kemandirian Masyarakat ).

Masyarakat membuat perencanaan ( Planning ) terhadap penggunaan dan pemanfaatan tanah di wilayahnya, sehingga tumbuh perekonomian yang memberi kemakmuran bagi masyarakat setempat dengan tetap melestarikan lingkungan hidup. Pelaksanaannya dimulai dengan membangun secara swadaya sarana kerja MPBM yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten, yaitu dengan mengoptimalkan dana desa yang saat ini disediakan dalam bentuk ALOKASI DANA DESA / ADD dan pembinaan teknis oleh Kantor Pertanahan setempat. Pada tahap perencanaannya dipersiapkan agar MPBM dapat berlangsung secara swadaya ( self financing ) baik dalam operasionalnya maupun pemeliharaannya, tanpa tergantung kepada Pemerintah Daerah Kabupaten.

Masyarakat membentuk kelompok pengelola data (TIM SEMBII.AN yang dibentuk berdasarkan rembug desa/musyawarah kelurahan) dan kelompok penggerak modernisasi usaha tani di desa ( Organizing ). Pengembangan jaringan produksi dan pemasaran dilakukan dengan bantuan yang difasilitasi, dibimbing dan dikoordinasikan oleh Kantor Kecamatan dan instansi sektoral terkait.

Masyarakat yang diwakili dan dimotori oleh TIM SEMBILAN dan Kelompok Penggerak Kegiatan ( Organizing ) merealisasikan rencana ( Plan ) yang telah dibuat ( Actuating ) dan mengawasi serta mengawal pelaksanaannya, sehingga mencapai keberhasilan ( Controlling ).

Hasil dari pendataan TIM SEMBILAN dalam pelaksanaan MPBM di suatu desa, akan berupa data tekstual dan data spasial (mosaik dari letak relative bidang-bidang tanah/sketsa bidang-bidang tanah) yang akan menjadi dasar bagi pembangunan kadasteral multi guna. Data tersebut kemudian diolah dengan sarana komputer dalam bentuk digital (IT system) dengan “Backup data” yang disimpan di kantor Pertanahan Kabupaten / Kota masing-masing. Kantor Pertanahan sebagai Instansi Vertikal akan bertindak sebagai penanggung jawab teknis yang mensupervisi proses administrasi pertanahannya, termasuk pemeliharaannya/ “Updating”nya, sedangkan “Backup” datanya, satu copy disimpan di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi. Demikian selanjutnya sampai “Backup” terakhir berada di BPN RI yang akan dikelola menjadi “Sistem Informasi Manajemen Pertanahan Nasional”. Sinkronisasi “Sistem Informasi Manajemen Pertanahan Nasional” dengan “Sistem Informasi Manajemen Kependudukan” akan menghasilkan penyelenggara pelayanan pemerintahan umum yang baik. Dengan demikian, apabila hal ini dapat kita wujudkan, maka tidak ada lagi “Abu-Abu” dalam pengelolaan administrasi pertanahan dan kependudukan serta tujuan filosofis yang terkandung dalam pasal 1 s/d pasal 15 UUPA, yaitu tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat dapat kita capai.

Selain dari pada itu, dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi, maka dengan dukungan Komputerisasi dan IT (Teknologi Informasi) data yang tepat dan akurat yang dihasilkan akan sangat membantu dan menjamin kepastian hukum hak atas tanah. Data tersebut dapat digunakan secara multi guna oleh Pemerintah dalam mengatur penguasaan dan pemilikan tanah serta memimpin penggunaan dan pemanfaatan tanahnya, sehingga tanah dapat digunakan sebagai sumber kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Lembaga Pemerintah terkait akan dapat mengakses data tersebut (sesuai dengan batasan yang diperbolehkan) untuk dapat dipergunakan sesuai dengan keperluannya.

Dengan demikian pelayanan kepada masyarakat dan dunia usaha dapat lebih ditingkatkan dan para pengguna data akan memperoleh gambaran mengenai administrasi pertanahan secara tepat, mudah dan dapat dipertanggung jawabkan, tanpa melalui birokrasi yang panjang dan rumit. Pada akhirnya menjadi harapan kita semua bahwa keberadaan data administrasi pertanahan ini akan dapat membawa banyak keuntungan bagi masyarakat secara luas dengan lebih berdaya guna dan berhasil guna.

Penutup

Demikianlah harapan dan cita-cita kita bersama dengan memberikan kontribusi kapada Bangsa dan Negara untuk menapaki hari esok dalam keadaan yang lebih baik dan marilah kita membangun kemandirian Bangsa dalam memasuki era globalisasi dengan melakukan Pemberdayaan Masyarakat dan menggalang partisipasi masyarakat dalam upaya Pengembangan Perekonomian Pedesaan dan Kawasan serta dengan memperkokoh penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang modern ( Modernisasi Desa ).

Wujudkan semangat Kebangkitan Nasional melalui Penyadaran dan Pembangunan Kemandirian Bangsa yang diwujudkan dalam Gerakan Rakyat dalam memasuki era globalisasi, dengan membangun Manajemen Pertanahan Berbasis Masyarakat ( MPBM ) secara serempak dengan semangat kebersamaan, persaudaraan, kekeluargan dan kegotong royongan di Desa / Kelurahan di seluruh Wilayah NKRI dalam kurun waktu 5 tahun. Hal tersebut sekaligus dapat merajut kembali “Ke-Bhinneka Tunggal Ika-an” bangsa Indonesia sebagaimana yang menjadi harapan dari para pendiri bangsa, sehingga fungsi tanah sebagai perekat NKRI dan tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat dapat kita wujudkan.


Jakarta, 28 Mei 2009.

Tulisan Ini Merupakan Pendapat Pribadi Penulis,

Mantan Banas Meneg. Agraria Bidang Perkotaan Urusan Penataan Kawasan, Kapuslitbang BPN RI, Inspektur Kepegawaian, Kakanwil BPN Prov. Jawa Tengah, Direktur Pengolaan Tanah Negara, Tanah Terlantar & Tanah kritis di BPN RI
Dan saat ini sebagai Pemerhati Agraria/Pertanahan.

Executive Summary : Program Pertanahan Pro Rakyat


Background : Menurut UUPA tanah meliputi kulit bumi yang terdiri dari bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (=TANAH dalam arti WILAYAH), merupakan ciptaan Tuhan sebagai karunia bagi bangsa Indonesia. Tanah (dalam arti wilayah) dan Rakyat merupakan satu kesatuan menjadi Bangsa Indonesia yang bersifat abadi dalam bentuk NKRI. Tanah untuk kemakmuran yang berkeadilan harus dikelola dengan sungguh-sungguh dan cermat bagi kepentingan generasi saat ini maupun yang akan datang serta tindakan yang nyata berdasarkan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yo UU No. 5 Th 1960 tentang UUPA sebagai wujud rasa syukur Bangsa dalam wadah NKRI kepada Sang PenciptaNYA.

Setelah lebih dari 49 tahun UUPA berjalan, presiden berganti presiden dan kabinet berganti kabinet, ruang lingkup tanah dalam artian wilayah menjadi semakin sempit hingga tinggal permukaan daratan saja. Lembaga Negara yang mengelola tanah dalam arti wilayah atau sumber-sumber agraria belum ada. Yang terjadi saat ini “tanah” telah menjelma dalam berbagai wajah sebagaimana dalam Hutan, Ruang, Kawasan dan Lahan, menampakan adanya disharmoni mulai dari UU di bawah UUPA hingga pada disharmoni koordinasi pelaksanaannya. Fakta dapat disaksikan bahwa telah terjadi pemborosan yang disertai ketidakoptimalan pengelolaan sumber-sumber agraria sebagai akibat tidak ada integrasi dan kecermatan dalam penggunaan dan pemanfaatannya. Jumlah pulau dan jumlah bidang tanah hingga saat ini belum dapat diketahui secara pasti kecuali kira-kira saja, karena belum ada Lembaga Negara yang memadai dalam mengelolanya.

Bahkan pada kenyataannya terjadi disparitas penguasaan dan pemilikan tanah, explotation delong par long, sertipikat tanah dobel bahkan trippel, maraknya mafia tanah, makin meluasnya tanah terlantar, tidak terkontrolnya pembatasan pemilikan tanah dan tanah absente, tercermin dari problem kemiskinan dan kebodohan yang berlanjut terus menerus. Wilayah (Tanah), Rakyat dan Pemerintah sebagai pilar keberadaan Negara dan tanah sebagai pilar yang strategis haruslah tertib administrasi dalam pengelolaannya, sehingga antara Tertib Pertanahan dan Tertib Kependudukan terintegrasikan dengan baik akan menghasilkan Pemerintahan Yang Baik.

Perlunya penataan kembali disharmoni kewenangan pengelolaan tanah dan sumber-sumber agraria pada tata kelola pamerintahan terintergratif kedalam satu lembaga yang sekaligus memperkuat dan memberdayakan BPN yang telah di “bonsai” sejak tahun 1967. Penataan tersebut berdasarkan amanah konstitusi Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yo UU no.5 Tahun 1960.

Objective : Semua bidang tanah yang membentuk wilayah negara dalam hubungannya dengan manusia baik berupa fisik penggunaan dan pemanfaatan tanah maupun hubungan hukum dan perbuatan hukum terkelola secara integratif dalam Lembaga Negara yang permanent dan independen.

Methodologi : 1. Menggerakkan “Community Empowerment Development”, gerakan penyadaran masyarakat akan catur tertib pertanahan (tanah dalam arti wilayah), 2. Membuat “Land Development Rules”, dengan menyusun UU Pertanahan berdasarkan hukum adat yang telah disaneer sebagai tindak lanjut UUPA, UU No.5 Th 1960.

Result : 1. Data base bidang tanah, 2. Back up warkah dan peta tanah, 3. Pelayanan Hukum dan Informasi Pertanahan yang cepat, akurat dan efisien (E Govt, E Payment, E Commerce), 4. Kelembagaan Pertanahan yang kuat, stabil, permanen dan vertikal, 5. Penegakan Hukum Pertanahan, 6. Peradilan Khusus Pertanahan/Agraria, 7. Land Banking, 8. Cadangan Tanah untuk keperluan strategis Negara, 9. Penulisan Land use planning dan pembatasannya di sertipikat tanah serta sangsi hukumnya, 10. Lingkungan Hidup terjaga (suistinable development), 11. Kontrol sosial masyarakat berjalan dengan gerakan MPBM, 12. Penataan Administrasi Pertanahan di Desa/Kelurahan, 13. setelah MPBM terbangun, Reforma Agraria baru dapat dilaksanakan dengan baik dan benar, 14. Pembentukan lembaga koordinatif dan konsultatif Dewan Reforma Agraria.

Conclution : Program Pertanahan Pro Rakyat dimulai dari Gerakan Penataan Aset Reform Pertanahan dan dilanjuti dengan Gerakan Penataan Akses Reform Pertanahan dengan baik, benar, sungguh-sungguh dan cermat, sebagai pengejawantahan program Reform Agraria sebagaimana yang digariskan dalam TAP MPR IX/2001.

Keyword : Pemberdayaan dan penyadaran masyarakat menuju tertib pertanahan merupakan wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta sebagai keyakinan/iman yang mampu membimbing bangsa Indonesia dapat setapak demi setapak mewujudkan cita-citanya.

Jakarta, 16 Agustus 2009

Ringkasan : Program Pertanahan Pro Rakyat


Program Pertanahan Pro Rakyat berupa Rencana Strategis Pertanahan Tahun 2009-2014 sebagai lanjutan Program Reforma Agraria 9,15 juta hektar yang belum dapat direalisasikan sampai dengan tahun 2009 ini. Hal tersebut terjadi karena data Reforma Agraria hanya berupa angka dan peta di atas kertas dan tidak nyata di lapangan.

Manajemen Pertanahan Berbasis Masyarakat (MPBM) adalah gerakan penyadaran masyarakat terhadap Catur Tertib Pertanahan (tanah dalam arti wilayah) yaitu Tertib Administrasi Pertanahan, Tertib Hukum Pertanahan, Tertib Penggunaan Tanah, dan Tertib Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup. Gerakan MPBM diawali dengan inventarisasi data bidang tanah oleh masyarakat sendiri untuk membangun data base bidang tanah di masing-masing desa/kelurahan setempat yang hasilnya dapat diketahui bidang-bidang tanah mana yang sudah bersertipikat dan yang belum bersertipikat serta batas desa/kelurahan yang bersangkutan. MPBM akan menghasilkan data bidang tanah yang clear, clean dan fresh yang dapat dijadikan obyek untuk melaksanakan Reforma Agraria secara nyata di lapangan. Hal tersebut harus dilakukan lebih awal disebabkan BPN belum mempunyai data base seluruh bidang tanah di NKRI sehingga sulit mendapatkan tanah yang clear, clean dan fresh yang dapat dijadikan obyek tanah Reforma Agraria.

Gerakan MPBM diawali dengan para penguasa/pemilik tanah membuat tanda batas masing-masing tanahnya dan diverifikasi oleh Tokoh Masyarakat setelah clear dipetakan oleh para Pemuda Desa. Tim MPBM terdiri dari 3 s/d 4 orang Pemuda Desa sebagai Tim Pengumpul Data dan 4 s/d 5 orang Tokoh Masyarakat sebagai Tim Verifikasi. Tim MPBM dipilih melalui Rembug Desa. Hasil inventarisasi dibukukan dan dikomputerkan dalam bentuk tekstual dan spasial sebagai Tata Usaha Administrasi Pertanahan Desa/Kelurahan. BPN wajib mensupervisi dan memverifikasi Tata Usaha Administrasi Pertanahan Desa/Kelurahan tersebut secara periodik dan saat pergantian Kepala Desa/Kelurahan.

Dengan partisipasi masyarakat melalui Gerakan MPBM seluruh Desa/Kelurahan di NKRI secara serempak (kalau bertahap maksimal harus 3 tahun selesai) dapat dibangun data base bidang tanah yang akurat. MPBM mutlak harus dilaksanakan mengingat semua sertipikat tanah yang telah diterbitkan BPN tidak semua bidang tanahnya mempunyai peta situasi ataupun peta ukur di kantor BPN Kabupaten/Kota setempat. Dari perkiraan 40 juta sertipikat tanah yang telah diterbitkan hanya 15 % yang dilakukan secara sistematis sedangkan sisanya 85 % di terbitkan secara sporadis yang artinya tidak bisa direkonstruksi secara benar di lapangan karena belum mempunyai titik ikat yang pasti sebagaimana yang sistematis. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya sengketa-sengketa tanah baru dan berkelanjutan bagi penerbitan sertipikat tanah yang akan datang.

MPBM merupakan operasionalisasi amanat konstitusi Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, UU nomor 5/1960 tentang UUPA, PP 224/1961 tentang Landreform dan TAP MPR No. IX/2001 tentang Reforma Agraria, karena bernegara itu berkonstitusi maka MPBM sebagai sarana operasional membangun data base bidang tanah sebagaimana perintah TAP MPR No. IX/2001 seyogyanya segera dilaksanakan mengingat telah diuji cobakan satu desa/kelurahan untuk tiap Kabupaten/Kota di seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2006 dan didukung Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah untuk penduplikasiannya di seluruh Desa/Kelurahan oleh Bupati/Walikota dengan Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah Nomor 593/23571 tertanggal 28 Desember 2007.

Suka atau tidak suka harus diakui bahwa pekerjaan pemetaan sertipikat tanah harus dimulai dari nol lagi oleh BPN untuk membuat “Data Base Bidang Tanah” dengan gerakan MPBM maka buku administrasi pertanahan di Desa/Kelurahan diperbaiki dengan supervisi dari BPN Kabupaten/Kota setempat serta ditindak lanjuti dengan IT dan diaudit secara berkala, merupakan kegiatan “Penataan Aset Reform Pertanahan”. Dari kegiatan tersebut dapat diketahui posisi tiap bidang tanah sebagai aset masyarakat, aset negara atau aset bangsa (NKRI).

Pada saat ini yang lebih parah lagi BPN tidak mempunyai “Back-up Data” sertipikat tanah yang telah diterbitkan, sehingga kasus kebakaran Kantor Pertanahan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Buleleng akan menimbulkan persoalan tersendiri di kemudian hari apabila harga tanah telah membumbung tinggi. Hal tersebut makin membuat ruwetnya sengketa tanah apabila telah terkontaminasi oleh para mafia tanah sebagaimana terjadi pada saat ini di lokasi yang mempunyai kegiatan ekonomi tinggi. Instansi BPN, Peradilan, Penegak Hukum akan menjadi mainan para mafia tanah. Sasaran modus operandinya saat ini adalah aset-aset pemerintah (tanah instansi, BUMN, BUMD) yang tidak dioptimalkan penggunaannya di lokasi kegiatan ekonomi tinggi sebagai contoh tanah BPN di Kabupaten Badung Bali.

Tanah baru dapat memberikan kemakmuran setelah diberikan AKSES REFORM maka sebagai tindak lanjut Penataan Aset Reform Pertanahan diperlukan “Penataan Akses Reform Pertanahan”. Yayasan Obor Tani Semarang telah melaksanakan salah satu kegiatan penataan akses reform pertanahan dengan membuat Sentra Pemberdayaan Tani (SPT) Tanaman Buah Unggul di Desa Genting Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang sebagai titik awal obor (titik api) bagi Petani Indonesia. Diharapkan titik-titik api tersebut akan menjalar ke seluruh NKRI sehingga suatu kelak nanti desa-desa kita (one village, one product) akan menjadi surga buah di Nusantara. SPT-SPT tersebut di kemudian hari dapat dikembangkan menjadi Sentra Pemberdayaan Rakyat (SPR) berupa kegiatan Peternakan, Perikanan, Home Industry, Mix Farming dlsb, untuk pengentasan kemiskinan sebagai usaha optimalisai penggunaan dan pemanfaatan tanah.

Hasil pekerjaan Yayasan Obor Tani dalam membangun SPT akan lebih optimal hasilnya bila diawali dengan penataan aset reform pertanahan, karena dalam penataan aset reform pertanahan melalui MPBM terbangun proses penyadaran masyarakat terhadap fungsi dan peranan tanah dan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Selain itu masyarakat mengetahui dengan pasti siapa yang tidak mempunyai tanah yang harus mendapatkan prioritas pemilikan tanah melalui Reforma Agraria. MPBM juga merupakan pengawasan sosial dari masyarakat terhadap tanah yang diterlantarkan oleh pemiliknya sebagai obyek spekulasi, pemilikan tanah absente dan tanah kelebihan menurut undang-undang (akan terlembaga adanya sosial kontrol dari masyarakat). Tanah-tanah tersebut dapat dijadikan obyek Reforma Agraria.

Database bidang tanah dari hasil MPBM dapat digunakan sebagai dasar pelaksanaan
Meratakan/menyeimbangkan ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah dengan Program Reforma Agraria yaitu Land Reform plus Akses Reform (tanpa akses reform pembagian tanah tersebut akan dijual lagi oleh petani).
Mencegah kelebihan pemilikan tanah pertanian maupun perumahan serta tanah absente sebagaimana amanat Undang-Undang Pokok Agraria nomor 5/1960 dan PP 224/1961.
Memperbaiki dan meningkatkan mutu dan waktu pelayanan pertanahan berupa jaminan kepastian dan jaminan hukum pada administrasi pertanahan.
Mencegah dan menyelesaikan sengketa pertanahan baru dan lama yang berkelanjutan.
Kegiatan apapun yang membutuhkan tanah yang luas, sebagaimana Reforma Agraria, pembangunan perkebunan besar, waduk, pemukiman kembali korban lumpur Lapindo dlsb.
danya saling kontrol (check and recheck) antara masyarakat, aparat Desa/Kelurahan dan Pemerintah /Pemda (khususnya BPN selaku pengampu administrasi pertanahan).
Adanya back up data pada BPN bila tarjadi bencana kebakaran, banjir dlsb yang menghancurkan warkah tanah dan peta bidang.
Bagi desa/kelurahan perbatasan dapat mengamankan teritorial NKRI dan sekaligus dilaksanakan sertipikasi tanah disepanjang garis teritotial NKRI.
Bagi pulau-pulau terluar dapat dilakukan pengamanan secara hukum dan fisik dengan sertipikasi tanah sebagai aset NKRI apabila belum dimiliki oleh perorangan, badan hukum maupun masyarakat adat setempat.
Dalam pengadaan tanah untuk infrasruktur mencegah adanya mafia/spekulan tanah karena sudah jelas pemilikan tanahnya sehingga dapat di freezing dulu untuk tidak adanya transsaksi tanah.
Pembangunan Pusat Informasi Pertanahan sebagai dasar kegiatan-kegiatan ekonomi dan penbangunan yang berkelanjutan.
Pembangunan Bank Tanah / Land Development bagi berbagai kepentingan strategis Pemerintah dan Negara.

Seyogyanya BPN di status-quo kan dahulu, tidak dilebur kedalam salah satu Departemen atau Kementrian Negara dalam pelaksanaan UU nomor 39 tahun 2008 tentang Kementrian Negara, kecuali dijadikan satu Departemen/Kementrian Agraria dan Pertanahan tersendiri yang vertikal sampai Kecamatan dan dapat mengkoordinasi semua sektoral yang berhubungan dengan agraria dan tanah.

Memposisikan Lembaga Pertanahan (BPN) sebagai yang menangani pertanahan dalam arti luas yaitu wilayah yang merupakan salah satu pilar adanya keberadaan negara (jangan hanya diartikan sebagai penerbit sertipikat tanah saja, tetapi juga mengatur optimalisasi penggunaan tanah supaya dapat memberikan kemakmuran yang berkeadilan) seperti sebagaimana kedua pilar lainnya yaitu pemerintahan dan rakyat. Di pemerintahan BPN disejajarkan dengan Bappenas dan Departemen Keuangan dalam menyusun program pembangunan yang membutuhkan tanah.

Perlu segera disusun dan diundangkan Undang-Undang Pertanahan yang berdasarkan Hukum Adat yang di”saneer” sebagai pengganti Hukum Perdata Barat yang berhubungan dengan tanah, karena telah dicabut oleh Undang-Undang Pokok Agraria, yang sampai sekarang belum pernah dibuat dan dalam pelaksanaannya hanya berdasarkan Peraturan Menteri dan atau Peraturan Kepala BPN saja sehingga dalam operasionalnya kalah dengan sektor lain yang mengatur dengan Undang-Undang pada obyek yang sama yaitu tanah tetapi diartikan dengan bahasa hukum yang lain misalnya kawasan hutan, ruang, lahan dan lain sebagainya. Sehingga di lapangan terjadi duplikasi kewenangan yang akhirnya diselesaikan dengan koordinasi dan hal tersebut memberikan beban pada masyarakat dalam pembiayaan dan peluang para mafia/pecundang NKRI memanfaatkan bagi kepentingannya.

Dalam UU Pertanahan harus mengatur juga :
Kelembagaan Pertanahan yang independen, kuat, stabil dan vertikal sampai tingkat kecamatan dibawah langsung Presiden sebagai Kepala Negara sebagaimana POLRI dan BPS.
Laboratorium Forensik Warkah dan Peta Pertanahan.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Pertanahan.
Pusat Informasi Pertanahan, untuk keperluan berbagai kegiatan pembangunan.
Bank Tanah, sebagai pencadangan tanah untuk keperluan strategis negara.
Peradilan Khusus Pertanahan/Agraria sebagai pengganti Peradilan Landreform yang dihapus pada masa lalu.

Menuliskan di sertipikat tanah Rencana Penggunaan Tanah dan Pembatasannya agar tercapai optimalisasi penggunaan dan pemanfaatan tanahnya serta harmoni dengan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Rencana Tata Ruang. Selain itu juga menuliskan sangsi hukumnya bila ada pelanggaran terhadap maksud dan tujuan pemberiaan/penegasan hak atas tanah dari Negara yaitu diberikan/ditegaskan hak atas tanahnya sesuai dengan maksud dan tujuannya. Apabila dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan maksud dan tujuannya tersebut maka hak atas tanahnya hapus/dicabut oleh Negara. Penulisan tersebut dimaksudkan merupakan sosialisasi pada pemilik tanah dan sosial kontrol dari masyarakat.

Menginventaris data bidang tanah di seluruh NKRI dengan gerakan MPBM sebagai penataan aset reform untuk tertib pertanahan. Dengan adanya TERTIB PERTANAHAN (NIB) dan TERTIB KEPENDUDUKAN (NIK) sebagai dasar TERTIB PEMERINTAHAN merupakan persyaratan PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BAIK. Sengketa tanah yang berlarut-larut dapat mengganggu jalannya pemerintahan. Hasil MPBM dapat dipergunakan sebagai titik awal berbagai keperluan kegiatan yang ada di atas/di dalam tanah untuk kemakmuran yang berkeadilan sebagaimana amanat para pendiri bangsa.

Jakarta,16 Agustus 2009.