Minggu, 21 Oktober 2012

Esensi Peran BPN RI



BPN RI, SIMTANAS DAN REFORMA AGRARIA


Tugas Pokok BPN sebagai  representasi  lembaga negara di tegaskan dalam UUPA No.5 Tahun 1960 pada point BERPENDAPAT huruf d :
“Mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di wilayah kedaulatan Bangsa di pergunakan untuk sebesar – besar kemakmuran rakyat, baik secara perorangan maupun secara gotong royong”
                                                                                                                                 
Untuk menjalankan kewajiban negara tersebut maka negara dalam hal ini BPN harus bisa membuat “Land policy” yang menjamin “Suistainable Development” dalam konteks ekonomi, sosial dan lingkungan. Peran BPN sebagai pelaksana  “Land Administration Function ” harus bisa melaksanakan kegiatan  meliputi :
Land Tenure (hak atas  tanah).
Land Use (penggunaan tanah).
Land Value (nilai tanah).
Land Development (pematangan tanah).

yang didukung dengan adanya :
Infrastructure berupa informasi data dan bidang tanah (P4T) dengan Information Technology ( IT).
Menjangkau sampai administrasi Pemerintah terbawah yaitu Pemerintah Desa/Kelurahan.

Sebagaimana landasan teori yang dikemukakan oleh Enemark, S (2006) dalam tulisannya yang berjudul “Understanding the Land Management Paradigm Need for Establishing Sustainable National Concepts” dalam the Global Magazines  for Geomatics, Januari 2006 (halaman 20), sebagai berikut :


Land Tenure (Hak atas tanah).
Harus segera disusun UU Pertanahan yang mengatur Hukum Pertanahannya, sebagai pedoman acuan bagi pelaksanaan UUPA. UU Pertanahan harus memuat azas-azas, ajaran dan filosofi hukum pertanahan yang menjabarkan hak kepedataan orang atas tanah.
UUPA adalah peraturan pelaksanaan bagi orang dalam hubungan pengelolaan tanah agar berhasil guna untuk dinikmati orang dan masyarakat.
Pelaksanaan UUPA harus dengan acuan UU Pertanahan, sebagai payung hukumnya, agar tidak merugikan rakyat, karena sengketa yang terus menerus tanpa penyelesaian dengan dasar hukum yang kuat.

Pengaturan penguasaan  dan pemilikan tanah haruslah di kendalikan sebagai mana amanat Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 dan UUPA dengan mencegah terjadinya :
Ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah baik oleh perorangan maupun badan hukum .
Monopoli usaha di bidang ke agrariaan, kecuali dengan Undang-Undang.
Pentelantaran tanah.
Exploitasi berlebihan terhadap kekayaan alam dalam bumi, air dan ruang angkasa.

Untuk mencegah ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah diatas diperlukan segera :
Revitalisasi UU pembatasan pemilikan perorangan atas tanah pertanian.
Penyusunan UU pembatasan pemilikan perorangan atas tanah non pertanian.
Penyusunan UU pembatasan pemilikan Badan Hukum atas tanah pertanian dan non pertanian.
Pembangunan Database bidang tanah P4T di kantor – kantor pertanahan di lengkapi dengan IT.

Land  Use (penggunaan tanah).
Departemen Pekerjaan Umum (Public Work) adalah pelaksanaan kebijakan untuk membangun  Fasilitas Umum, bukan pembuat kebijakan termasuk “Land Policy” (dalam hal tata ruang).
Land Policy seharusnya di BPN sebagaimana di amanahkan dalam UUPA.
Kebijakan penggunaan tanah yang tidak di kontrol / dikendalikan oleh BPN sebagai contoh yaitu HPL Badan Otorita Batam di pulau Batam. Seharusnya sebelum ada kebijakan umum pengendalian penggunaan tanah yang memuat norma, standard dan kriteria di perlukan adanya pengendalian secara parsial terhadap perencanaan penggunaan tanah pada areal HPL oleh BPN, bukan sebaliknya seperti di Batam.
Dalam era otonomi daerah maka tata ruang, penggunaan dan pemanfaatan tanah dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah, dengan kontrol Negara melalui norma, standard, kriteria yang dipersiapkan oleh BPN sebagai sarana kendali, tanah untuk kesejahteraan yang berkeadilan serta kelestarian kualitas lingkungan hidup agar tanah dapat berkontribusi terhadap kelangsungan “Suistainable Development”  dalan konteks ekonomi, sosial dan lingkungan hidup.

Land Value (nilai tanah).
“Land Value” sebagai bagian dari “Land Policy” seyogyanya tetap dalam satu manajemen yaitu BPN. Sejak adanya “UU BPHTB”, land value yang dulu di BPN (harga dasar tanah) di alihkan ke instansi pajak (NJOP atas BPHTB). Seyogyanya di kembalikan ke BPN untuk mencegah KKN, karena kebijakan dan pelaksanaan harusnya dipisah. BPN (kebijakan) menentukan nilai tanahnya, Instansi Pajak (pelaksana kebijakan) menagih pajaknya atas dasar nilai tanah tersebut dan kedua instansi tersebut harus Online secara IT.

Land  Development (pematangan tanah).
Kebijakan Land Development yang merupakan bagian dari “Land Policy” dalam operasionalnya melaksanakan kegiatan “Land Banking”.
Tujuan utamanya yaitu untuk :
Menyeimbangkan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan perlindungan pada masyarakat/petani tanpa tanah (rakyat miskin).
Menyediakan tanah untuk keperluan Infrastruktur, Perumahan Rakyat. Ketahanan pangan, bioenergi.
Cadangan tanah untuk keperluan strategis bagi Negara.
Sebagai pelaksana kebijakan untuk pembangunan fisiknya dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum.

Fakta Lapangan
Cuplikan  gambaran kejadian sehari-hari dilapangan khususnya daerah pedesaan sebagaimana berikut : Si A dan B berhubungan saudara. Si A punya sebidang tanah pinjam uang pada Si B dengan angsuran pembelian tanah. Ini karena butuh uang. Cicilan baru sebagian dan diatas tanah telah dibangun rumah oleh Si B. Lalu si B jual tanah dan bangunan pada C. Si C lalu memohon sertifikat. Si A klaim bahwa tanahnya adalah miliknya. Maka proses sertifikat mandeg menunggu clear antar A dan B. Padahal uangnya sudah habis dipakai B.

Peristiwa perbuatan hukum secara bawah  tangan masih berlangsung hingga beberapa puluh  tahun ke depan. Kejadian ini  tidak menjadi arena BPN, karena belum bersertifikat.

Lalu siapa yang mengadministrasikan, kalau tidak Desa, lalu siapa ?

Inilah MPBM (Manajemen Pertanahan Berbasis Masyarakat) sebagaimana yang telah diujicobakan di Jawa Tengah dengan anggaran APBNP tahun 2006.

Proyek politis mercusuar hanya nampak semu dan amat sensasional bukan solusi yang memberikan sistem yang efisien dan efektif bagi penyelenggaraan portofolio BPN, sementara sekedar untuk kegiatan oke – oke saja. Tetapi secara jangka panjang lebih baik percepatan database bidang tanah (P4T).

Lembaga BPN sangat tidak efisien dalam melaksanakan Portofolio, karena   bahan utama kerja yaitu data bidang tanah (P4T) belum punya dan baru akan punya 100 tahun ke depan walaupun tiap Kab/Kota ada personil BPN jika hanya mengandalkan alokasi APBN BPN saja. Perlu percepatan  10 Tahun harus selesai melalui Sinergi dengan administrasi tanah di desa/kelurahan.
Pembangunan data base bidang tanah (P4T) atau Sistem Informasi Manajemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS) sejalan dengan yang diamanahkan oleh MPR dalam TAP MPR No. IX tahun 2001 dan KEP MPR No. V tahun 2003 tentang Reforma Agraria yang mengharuskan penataan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) yang didahului dengan pendataan bidang tanah (P4T).

Auto Kritik

Kalau Reforma Agraria (dalam arti Landreform plus akses reform), BPN yang mengkoordinir akses lewat peningkatan aset, berarti harus dimulai di satuan 3, apakah sudah klop dengan Menteri lain, 5 tahun ke depan baru klop kalau sudah ada komitmen antar petinggi negara.
Kalau 5 tahun ke depan untuk MPBM, maka portofolio BPN lebih pasti tercapai dalam  10 tahun ke depan sekaligus Reforma Agraria tercapai, tetapi bukan sebaliknya.
Gerakan Masyarakat Reforma Agraria yang dicanangkan Ka.BPNRI awal Juli 2008 di Blora Jawa Tengah dapat sukses apabila diawali dengan gerakan MPBM.

Solusi
Membangun database bidang tanah (P4T) atau SIMTANAS dengan melalui MOU BPN dengan Departemen Dalam Negeri.
BPN harus menata ulang dengan Departemen PU dan Departemen Keuangan tentang “Land Policy” dalam satu manajemen di BPN sebagai lembaga representasi Negara.
Sertifikat tanah sebagai alat kendali untuk kesejahteraan yang berkeadilan dan kelestarian kualitas lingkungan hidup, disamping sebagai bukti hak dan jaminan hukum serta kepastian hukum hak atas tanah.
Menyiapkan UU Pertanahan, UU Pembatasan pemilikan tanah perorangan dan Badan Hukum di Pedesaan dan Perkotaan (Pertanian dan Non Pertanian).
Membangun laboratorium forensik Warkah Tanah (Tekstual dan Spasial).
Membangun bangunan arsip dokumen Negara berupa warkah tanah, buku tanah dan peta- peta termasuk dokumen berupa elektronik.
Meningkatkan status BPN setingkat dengan Kementerian / Departemen.

Harapan
Dengan dilaksanakannya solusi yang dikemukakan besar harapannya untuk dapat dicapai mimpi / program BPN tentang Reforma Agraria dimaksud untuk :
Menciptakan sumber-sumber kesejahteraan masyarakat yang berbasis agraria.
Menata kehidupan masyarakat yang lebih berkeadilan.
Meningkatkan berkelanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.
Meningkatkan harmoni kemasyarakatan.

Serta tercapainya 11 Agenda BPN, kkususnya agenda no. 1 membangun kepercayaan masyarakat dengan pelayanan sertipikat tanah hanya membutuhkan hitungan hari untuk bidang tanah yang belum di ukur dan hitungan jam bahkan menit untuk bidang tanah yang sudah di ukur apabila data  base bidang tanah (P4T) telah terbangun menjadi SIMTANAS dengan aplikasi E-government, E-payment dan E-commerce.

Sehubungan telah terbangunnya SIMTANAS dan laboratorium forensik warkah di harapkan masalah Sengketa, Konflik dan Perkara dapat di perkecil volumenya sehingga kedeputian Sengketa, Konflik dan Perkara bisa di redusir menjadi Direktorat lagi. Sedangkan untuk mengelola SIMTANAS diperlukan kedeputian baru yaitu Deputi Informasi Pertanahan.


Praktisi Pertanahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar