Hasil survei KPK mengenai pelayanan publik yang menempatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) di urutan kedua terburuk baru-baru ini, menjadi cambuk bagi aparatur negara khususnya jajaran BPN, untuk secepatnya melakukan langkah-langkah perbaikan.
Terciptanya transparansi merupakan salah satu jawaban atas derasnya tuntutan pelayanan prima dari masyarakat. Kebijakan dan langkah-langkah strategis diharapkan bisa menghilangkan ‘kawasan abu-abu’ (grey area) yang selama ini menyelimuti manajemen pertanahan di tanah air. Menurut Direktur Pengolahan Tanah Negara, Tanah Terlantar, & Tanah Kritis di BPN RI , Bambang S. Widjanarko, inventarisasi, registrasi secara sistematis dan komprehensif, harus segera dilakukan. “Keterbatasan sarana dan anggaran jangan dijadikan kendala untuk mewujudkan harapan masyakarat,” tambahnya. Ada terobosan yang harus dilakukan, yakni mengakomodasikan dan mengembangkan tata nilai yang dimiliki masyarakat pedesaan, guyub rukun, semangat kebersamaan, persaudaraan, kekeluargaan dan kegotong-royongan. Diungkapkan, saat ini Sertifikasi tanah di luar kawasan hutan sudah mencapai 41,5%, sementara 58,5% belum terpetakan. Hal ini menjadi sumber kerawanan timbulnya masalah pertanahan di kemudian hari. Kerawananan juga ditimbulkan oleh penggunaan letter C desa sebagai alas hak atas tanah, dan belum dimilikinya peta dasar secara lengkap di sebagian Kantor Pertanahan. Maraknya sertifikat ganda merupakan salah satu konsekuensi atas masalah-masalah tersebut. Ini terjadi karena kurangnya kontrol dan kejelasan ataupun kepastian letak bidang tanah yang telah dan akan diterbitkan sertifikatnya. “Hal ini juga dapat menimbulkan permasalahan besar dan berkelanjutan di kemudian hari,” tambah Bambang.
Mafia tanah terjadi karena sistem C desa (Jawa, Madura, Bali, dan Lombok ) dan sistem tanah adat (Sumatera, Kalimantan , Sulawesi, Irian Jaya, Kep. Riau, Kep. Maluku, dan NTT) merupakan daerah “ABU-ABU” yang belum ditangani secara tuntas, meski UU Pokok Agraria (UUPA), sudah berumur 48 tahun. “Keadaan ini menjadi lahan subur bagi para mafia tanah dan oknum yang selalu berupaya mempertahankan kondisi tersebut,” ujar mantan Kakanwil BPN Jawa Tengah itu. Pasalnya, lanjut Bambang, UUPA tidak memberikan kriteria mengenai eksistensi hak ulayat. Konsepsi hukum adat bersifat komunalitas, yaitu adanya pengakuan hak bersama atas tanah, yang dikenal dengan hak ulayat masyarakat hukum adat. Namun hal ini hanya berlaku sejauh masyarakat hukum adat itu masih ada, dan tentunya tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Ketidakakuratan batas wilayah adat atau desa adat untuk wilayah di luar Jawa, mengakibatkan satu atau beberapa bidang tanah yang letaknya berdekatan, dapat memiliki dua atau lebih surat pelepasan adat. Hal ini dapat menjadi sumber seng keta pertanahan, baik sebelum maupun pasca penerbitan sertifikat tanah tersebut. Sebagai gambaran, diungkapkan bahwa kasus tanah sangat dominan masuk ke pengadilan, dan 70% di antaranya berindikasi pidana. Sementara itu, struktur kelembagaan pengampu UUPA, baru sampai pada tingkat kabupaten dan kota. Padahal untuk mewujudkan cita-cita proklamasi dan tercapainya tujuan UUPA, menuntut tersedianya infrastruktur fisik kadaster pada setiap kantor, yaitu data bagi setiap bidang tanah, seperti letak, batas, luas, penggunaan, nama pemilik, serta jenis hak. Juga diperlukan data spasial berupa peta bidang tanah yang telah dimasukkan di peta dasar pendaftaran. Kadaster fisik inilah yang akan mendukung terselenggaranya legal cadastre (kadaster hukum) bagi BPN, dan fiscal cadastre (kadaster pajak) bagi Ditjen Pajak.
Administrasi pertanahan berbasis masyarakat menjadi kata kunci, dan merupakan pendekatan utama yang sangat signifikan. Caranya, proses pembangunan sistem pengelolaan bidang tanah desa demi desa perlu dikedepankan dengan pemberdayaan masyarakat, yang selama ini terabaikan. Kita terlena oleh pendekatan proyek yang hanya bisa jalan apabila ada anggaran. Manajemen Pertanahan Berbasis Masyarakat (MPBM) akan menjadi entry point bagi terwujudnya kadaster multi guna (multipurpose cadastre), landasan yang mampu mengatasi berbagai masalah. Misalnya, menutup sumber sengketa pertanahan dengan menghilangkan kawasan abu-abu, meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang baik, efisien dan efektif. Kualitas pengambilan keputusan lebih tepat, memenuhi azas keadilan dan kepastian hukum. Kualitas perencanaan pembangunan juga dapat ditingkatkan, sehingga sasaran tercapai sesuai target, fakta dan realita. Bahkan, MPBM akan mendukung program penanggulangan kemiskinan, serta mengurangi kerusakan lingkungan .
MPBM ini sudah diujicobakan di 35 desa/kelurahan yang tersebar di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah pada tahun 2006. Kegiatan itu, lanjutnya, mendapat dukungan penuh dari Gubernur Jateng (melalui tiga Surat Edaran Gubernur), dan mendapat respons positif dari Pemkab/Pemkot, serta desa/kelurahan. Bahkan Pemprov Jateng berniat menyelesaikan 8.533 desa/kelurahan hingga akhir tahun 2010. Hasil uji coba itu dapat dijadikan acuan bagi daerah lain, khususnya yang masih menganut penguasaan tanah adat sebagai landasan dalam penegasan Tanah Negara, sesuai Permenneg Agraria/Kepala BPN No. 5/1999, melalui kerjasama, koordinasi , integrasi serta sinkronisasi kelembagaan, antara Depdagri dan BPN RI. Dalam prakteknya, masyarakat membuat perencanaan penggunaan dan pemanfaatan tanah di wilayahnya masing-masing. Hal ini sangat positif, karena orientasinya pertumbuhan ekonomi untuk kemakmuran masyarakat setempat dengan tetap melestarikan lingkungan hidup. Diawali dengan membangun sarana kerja MPBM secara swadaya yang difasilitasi Pemda, melalui optimalisasi Alokasi Dana Desa (ADD), dan pembinaan teknis oleh Kantor Pertanahan setempat. Masyarakat juga membentuk kelompok pengelola data (Tim Sembilan), yang bersama kelompok penggerak kegiatan merealisasikan rencana yang telah dibuat, mengawasi, serta mengawal pelaksanaannya, sehingga berhasil. Pengembangan jaringan produksi dan pemasaran difasilitasi, dibimbing, dan dikoordinasikan Kantor Kecamatan dan instansi sektoral terkait. Hasil dari pendataan Tim Sembilan dan pelaksanaan MPBM di suatu desa (data tekstual dan spasial) menjadi dasar pembangunan kadasteral multi guna. Selanjutnya data diolah secara digital, dengan back up data disimpan di Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota masing-masing, dan satu disimpan di Kanwil BPN provinsi. “Selanjutnya akan dikelola BPN Pusat menjadi Sistem Informasi Manajemen (SIM) Pertanahan Nasional,” tuturnya, menambahkan.
Kepastian hukum Sinkronisasi SIM Pertanahan Nasional dan SIM Kependudukan akan menghasilkan penyelenggara pemerintahan umum yang baik, sehingga tidak ada lagi wilayah ABU-ABU dalam pengelolaan administrasi pertanahan dan kependudukan. Dengan demikian tujuan filosofis UUPA, yakni pasal 1 – 15, tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat dapat terapai. Dengan dukungan teknologi informasi (TI), data tepat dan akurat yang dihasilkan akan sangat membantu dan menjamin kepastian hukum hak atas tanah. Selanjutnya dapat digunakan secara multiguna oleh Pemerintah dalam mengatur penguasaan dan pemilikan tanah. Lembaga Pemerintah terkait juga dapat mengakses data untuk digunakan sesuai keperluan. Dengan demikian, pelayanan kepada masyarakat dan dunia usaha dapat lebih ditingkatkan, dan para pengguna data akan memperoleh gambaran mengenai administrasi pertanahan secara tepat dan akurat, mudah dan dapat dipertanggungjawabkan, tanpa melalui birokrasi yang panjang dan rumit.
Data MPBM setiap tahun diverifikasi oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atau pada saat pergantian Lurah/Kepala Desa. Data tersebut harus sama persis dengan buku tanah yang ada di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, hingga asset Negara dan asset bangsa dapat termonitor dari BPN RI.
Keberadaan data administrasi pertanahan ini diharapkan dapat memberi banyak keuntungan bagi masyarakat luas. Kondisi seperti itu diharapkan bisa memberi kontribusi bagi negara, dalam membangun kemandirian bangsa dengan pemberdayaan dan menggalang partisipasi masyarakat untuk membangun ekonomi pedesaan dan kawasan. Lebih dari itu, juga untuk memperkokoh penyelenggaraan pemerintahan desa yang modern (modernisasi desa). Gerakan rakyat secara serempak di seluruh wilayah NKRI dalam kurun waktu 5 tahun, diharapkan bisa merajut kembali ke-Bhinneka Tunggal Ika-an bangsa Indonesia sebagaimana harapan para pendiri bangsa, sehingga fungsi tanah sebagai perekat NKRI dan untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan. Momentum 100 tahun kebangkitan Nasional ini, menurut Bambang S. Widjanarko, sangat tepat untuk mencanangkan pembangunan Manajemen Pertanahan Berbasis Masyarakat, yang dilaksanakan serempak di seluruh wilayah Indonesia .
Oleh: Bambang S. Widjanarko
Tidak ada komentar:
Posting Komentar