Penguasa dan pemilik tanah di Nusantara adalah Kerajaan (tanah swaparaja) dan Mayarakat Adat (tanah ulayat).
PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA.
Diberlakukan :
- Domain Verklaring : Semua tanah milik Pemerintah Jajahan kecuali apabila bisa membuktikan pemilikannya sehingga Pribumi dianggap sebagai OKUPAN (penggarap), karena pembuktian kepemilikan harus tertulis sesuai Hukum Perdara Barat, hal ini tidak memungkinkan bagi Masyarakat Adat.
- Agrarish Wet : untuk mengundang investor maka diterbitkan Hak Eigendom untuk hak milik, Hak Erpach untuk perkebunan, Hak Opstal untuk bangunan. Tanah kerajaan dipetakan sebagai Sultan Ground (tanah swapraja). Hak Adat dan hak masyarakat adat tidak diakui.
- Kojnklik Besluit : Hanya warga eropa yang dapat memiliki Hak Eigendom atau yang dipersamakan dengan warga eropa dengan Besluit dari Ratu Belanda, sehingga hanya dipunyai oleh warga timur asing yang kaya (seperti Oei Tiong Ham) dan para Raja2 nusantara yang berpengaruh.
- Hukum Perdata Barat.
Sejak itu berduyun-duyun para kapitalis berkembang di bumi nusantara. Selama penjajahan terjadi ketidakadilan dan penghisapan manusia atas manusia dalam rangka pengembangan kolonial Belanda.
Tahun 1928 terjadilah SUMPAH PEMUDA dimana Bangsa Indonesia diikrarkan di Nusantara oleh para pemuda dari berbagai daerah Nusantara, walaupun sebelumnya telah ada pertemuan para raja se Nusantara untuk bersatu tetapi belum sampai terwujud dalam bentuk ikrar kebulatan tekad sebagaimana para pemudanya di Nusantara.
PADA MASA PROKLAMASI KEMERDEKAAN.
Pada saat proklamasi kemerdekaan NKRI oleh Soekano-Hatta dinyatakan oleh Soekarno bahwa wilayah NKRI adalah wilayah bekas Jajahan Belanda dari Sabang sampai Marauke, namun disanggah oleh Gubernur Jenderal Belanda yang tidak rela melepaskan wilayahnya. Raja Hamengkubuwono IX yang diikuti Raja Pakualam VIII menggabungkan diri dengan NKRI saat itu juga, sedang raja-raja lainnya tidak bergabung dengan NKRI sehingga Nusantara menjadi Republik Indonesia Serikat, NKRI ada dengan modal wilayah Jogjakarta. Setelah Nusantara aman dari Gerakan Operasi Militer Belanda ke I & II maka Jogjakarta dinyatakan sebagai Daerah Istimewa (1953), sedangkan eks kerajaan lainnya tidak dinyatakan sebagai Daerah Istimewa, malah dinyatakan sebagai tanah yang menjadi milik bangsa Indonesia yang dikuasai negara dan dijadikan tanah obyek land reform dibagikan kepada para penggarapnya.
Sejak tahun 1948 telah terbentuk Panitia Agraria Jogjakarta dengan semangat menegakkan keadilan dan menghapuskan penghisapan manusia atas manusia di tanah NKRI dengan menghindarkan diri dari NEO KOLONIALIS dan IMPERIALIS. Sangat disadari fondasi lokal Nusantara adalah agraris dan maritim, maka tanah sebagai modal dasar bagi petani sebagai alat ekonomi dan tempat tinggal dan bagi nelayan sebagai tempat tinggal serta laut sebagi tempat mencari nafkah dengan perahu/kapal sebagai alat ekonominya.
Pada tahun 1960 di syahkan Undang-Undang no 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dikenal dengan UUPA mencabut :
Agrarisch Wet.
Domein Verklaring.
Kojnklik Besluit.
Buku II Hukum Perdata Barat (Indonesia) sepanjang yang berkaitan dengan tanah tidak diberlakukan lagi dan diganti berdasarkan Hukum Adat.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah penjabaran dari Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Bumi, Air dan Ruang Angkasa serta kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, serta perekonomian dibangun berazaskan kekeluargaan (gotong royong). Selain itu UUPA juga menjabarkan sila-sila pada Pancasila ke dalam pasal-pasalnya, antara lain bahwa tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia bersifat ABADI. Artinya Negara tidak memiliki tanah karena Domein Verklaring tidak diberlakukan oleh NKRI. Pemilik tanah NKRI adalah Rakyat /Bangsa Indonesia termasuk kekayaan alam yang dikandungnya. Negara tidak memiliki tanah NKRI tetapi sebagai wakil organisasi bangsa menguasai tanah dalam arti mengatur pemilikan dan memimpin penggunaannya diwilayah tanah kedaulatan untuk kesejahteraan baik secara perorangan maupun bersama-sama (gotong-royong). Pengertian tanah di UUPA adalah kulit bumi termasuk diatas dan dibawahnya sepanjang berhubungan dengan penggunaan tanahnya, laut termasuk kulit bumi dan berada diatas tanah. Contoh lainnya, yaitu : hanya WNI yang dapat memiliki tanah, pemilikan tanah dibatasi, tanah pertanian hanya untuk petani, tanah berfungsi sosial, dilarang tanah sebagai barang spekulasi, monopoli tanah dilarang, kecuali diatur dalam undang2 tersendiri dsbnya.
BUNG KARNO menyatakan bahwa tanggal 24 September 1960, hari lahirnya UUPA yang merupakan hari kemenangan bagi RAKYAT TANI INDONESIA, dengan diletakkan dasar-dasar bagi penyelenggaraan Land reform untuk mengikis habis sisa-sia imperialisme dalam lapangan pertanahan, agar rakyat tani dapat membebaskan dari segala macam bentuk penghisapan manusia atas manusia dengan beralat tanah, menuju ke arah masyarakat adil dan makmur.
UUPA adalah alas bangunan NKRI menuju masyarakat adil dan makmur, sehingga pada tahun 1963 terbit Keputusan Presiden Republik Indonesia no 169/1963 tentang penetapan 24 september sebagai HARI TANI. Amanat politik UUPA jelas sekali terbaca dalam konsideran Keppres tersebut bahwa ; (i) Tanah sebagai basis perekonomian nasional; (ii). Perekonomian yang berdaulat diatas kedaulatan rakyat tani; (iii). Menghindarkan diri dari Nekolim, neoimperialisme dan neokolonialisme, dalam bentuk penghisapan manusia atas manusia; (iv). Secara teknis dilaksanakan melalui dua sayap, land reform dan acces reform.
Setelah UUPA dengan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perpu) no 224/1961 dlaksanakan Land reform terhadap tanah kelebihan pemilikan, tanah absente (tanah milik yang terletak di luar kecamatan dan kecamatan perbatasan letak tanah) , tanah swapraja (kerajaan/kraton) dan tanah ex swapraja yaitu tanah2 kerajaan yang tidak bergabung dgn NKRI pada masa RIS kecuali kraton Ngayogjakarta dan Pakualaman yang dinyatakan istimewa dan belum memberlakukan UUPA di Daetah Istimewa Yogyakarta.
ERA ORDE BARU.
Tragedi tahun 1965 menghambat pelaksanaan land reform dengan pergantian rezim pemerintahan karena disinyalemen bahwa UUPA berpaham kekiri-kirian oleh rezim orde baru. Padahal UUPA merupakan penjabaran keagraiaan/pertanahan sebagai aplikasi sila-sila dalam Pancasila dan satu-satunya undang-undang yang dibuat oleh Panitia Negara di RI. UUPA berazaskan kerakyatan sebagai konsekwensi logis dari tanah merupakan karunia Tuhan YME kepada bangsa indonesia bersifat abadi, dimana rakyat adalah pemilik abadi tanah NKRI.
Namun pada tahun 1967 terbitlah Undang-Undang Pokok Kehutanan, Undang-Undang Pertambangan, Undang-Undang Pengairan, Undang-Undang Perindustrian dan Undang-Undang Penanaman Modal Asing/ Dalam Negeri tidak mengacu UUPA dan memberlakukan kembali Domein Verklaring untuk mengundang para kapitalis dan neoliberalis ke bumi Nusantara dengan dalih pembangunan membutuhkan investasi, sehingga mengakibatkan tumbuh suburnya para spekulan tanah dan monopoli tanah dikalangan konglomerat. Sejak saat itulah dimulai penjajahan periode kedua terhadap Rakyat indonesia oleh pihak luar yang difasilitasi bangsa sendiri.
Padahal jika UUPA diberlakukan dan dijadikan acuan dari Undang-Undang lainnya yang berkaitan dengan tanah maka seluruh kekayaan alam yang terdapat di atas dan yang terkandung di dalam tanah adalah milik bangsa sehingga seluruh usaha yang terkait, yang selama ini dilakukan Badan Usaha Milik Negara/Daerah ataupun kerja sama dengan pihak asing haruslah di audit setiap tahunnya sebagai pertanggung jawaban kepada bangsa selaku pemilik tanah.
Dilain pihak Undang-Undang no 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang sifatnya menyeragamkan desa berakibat merusak tatanan Desa Adat apalagi dengan adanya Inpres Bantuan Desa menjadikan pemecahan Desa Adat secara administrasi.
Rancangan Undang-Undang Pertanahan berdasarkan hukum adat sebagai penjabaran UUPA hingga saat ini belum terpikirkan untuk disusun oleh BPN RI, serat masih diberlakukannya bukti hak lama (Agrarich Wet) oleh Pengadilan Negeri yang berdasarkan Kitab Hukum Perdata Indonesia (yang mengacu pada hukum perdata Belanda), bukan hukum adat sebagaimana perintah UUPA, juga Pengadilan Land Reform dibubarkan dan hingga saat ini belum dibentuk Pengadilan Agraria/Pertanahan. Kesemuanya itu menambah makin ruwetnya pertanahan di NKRI apalagi sampai saat ini belum terbangun data base bidang tanah secara nasional. Pembonsaian UUPA dan carut marut pertanahan di NKRI semakin marak sejak rezim orde baru yang berlangsung sampai saat ini.
Kasus-kasus konflik agraria dimasyarakat yang marak terjadi saat ini menunjukkan adanya kebijakan negara yang salah yang terus dilaksanakan yaitu memberlakukan Domain Verklaring kembali di bumi nusantara dan dibonsainya UUPA mengakibatkan menjerat rakyatnya sendiri sehingga tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan NKRI oleh bangsa Indonesia yang diproklamirkan Soekarno-Hatta.
SARAN PEMECAHAN.
Membangun data base Sistem Informasi Manajemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS) yang berisi tentang informasi bidang tanah berupa penguasaan, pemilikan , penggunaan dan pemanfaatan tnah (P4T) dengan melibatkan partisipasi masyarakat, sekaligus menyadarkan akan catur tertib pertanahan yaitu Tertib administrasi pertanahan, Tertib hukum pertanahan, Tertib penggunaan tanah dan Tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup. Juga melaksanakan inventarisasi tanah adat dan wilayah tanah ulayat, apakah masih ada lembaganya, apakah masih ada aturannya baik tertulis maupun lisan dan apakah masih dipatuhi oleh masyarakat adatnya, sebagai bahan referensi penyusunan Rancangan Undang-Undang Pertanahan berdasarkan Hukum Adat melalui Kelompok Swadaya Mayarakat Manajem Pertanahan Berbasis Masyarakat (KSM MPBM). KSM MPBM dipilih melalui Rembug Desa, 4 Pemuda Desa sebagai tim pengumpul dan pengelola data bidang tanah P4T, 5 Tokoh Masyarakat Desa yang menguasai riwayat tanah desa sebagai tim verifikasi data dan mediasi pertanahan. MPBM adalah pengelolaan administrasi pertanahan dalam satu unit masyarakat desa/kelurahan, merupakan upaya revitalisasi otonomi desa (sistem Pemerintahan Adat) dengan pendekatan partisipatif dan swadaya (self-governing community) dalam rangka mewujudkan masyarakat makmur mandiri dan alam lestari dengan menerapkan catur tertib pertanahan dalam kerangka NKRI.
Melaksanakan UUPA secara konsekwen dengan men “judicial review” peraturan perundangan dan lembaga yang masih melaksanakan Domein Verklaring dan Agrarich Wet.
Melaksanakan Land reform yang ditindak lanjuti akses reform, khususnya tanah pertanian sebagai modal ekonomi bagi Rakyat Petani Miskin pemilik NKRI dan memperkuat perekonomian nasional negara agraris. Demikian juga terhadap Nelayan dan warga Maritim, selain memberi tanah untuk tempat tinggal juga diberikan akses reform berupa sarana dan prasarana sebagai alat ekonominya untuk meningkatkan kesejahteraannya dan kedaulatannya. Petani penerima tanah obyek land reform diberikan hak sementara (non permanen) dilarang mengalihkan dan hanya boleh diwariskan kepada anaknya berprofesi petani dengan sepengetahuan Panitia Land Reform Desa setempat, demikian juga perlakuannya sama terhadap para Nelayan dan warga Maritim tersebut.
Menyusun dan mengesahkan UU Pertanahan Nasional berdasarkan hukum adat sebagai tindak lanjut perintah UUPA. Hak atas tanah berdasarkan hukum adat hanya dua yaitu hak tetap (permanen) dan hak sementara (non permanen), semuanya diatas Hak Milik Bangsa indonesia yang bersifat ABADI. Tanah sebagai jaminan pinjaman di bank hanya sepanjang waktu hak yang diberikan, namun apabila diterlantarkan haknya hapus dan kembali menjadi tanah milik bangsa indonesia yang dikuasai negara, maka yang bisa dijaminkan pada bank itu hanya kegiatan usahanya diatas tanah, hal tersebut juga sebagai pembatasan gerak spekulan tanah dan pembobolan dana bank. Pembebasan tanah untuk kepentingan sosial dan infrastruktur lebih mudah karena ada data base bidang tanah maka harga tanah dapat di “freezing”, tidak masuk angin oleh para spekulan tanah, serta ada kesadaran bahwa tanah NKRI adalah milik semua Warga Negara Indonesia sehingga menumbuhkan rasa nasionalisme kebangsaan dan rasa sosial lebih peka dimasyarakat serta ihklas melepaskan hak atas tanahnya bagi kepentingan umum. Undang-Undang ini juga melindungi rakyat kecil yang berkaitan dengan tanah dari ketidakadilan berupa bentuk bagi hasil antara lain kerja sama opersional, built operation and transfer dan lain sebagainya maupun kegiatan konsolidasi tanah, land reajustmen dan land urban renewel.
Untuk menegakkan keadilan dalam pertanahan harus dibentuk Pengadilan Khusus Keagrarian/Pertanahan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Pertanahan, bukan lagi di Pengadilan Umum yang menganut Hukum Perdata Indonesia.
Mengoptimalkan fungsi dan peranan hasil administrasi dan hukum pertanahan, yaitu sertipikat tanah sebagai sarana kontrol kepemilikan tanah dan tertib penggunaan tanah, tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup.
Menyusun Land Use Planning Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota dan Rencana Teknis Tata Guna Tanah yang berdasarkan data base bidang tanah. Dengan simtanas bidang tanah dapat diketahui Present Land Use, Land Capability (Wilayah Tanah Usaha) sehingga dapat dibuat Neraca Penggunaan Tanah yang memudahkan pembuatan Land Use Planning pada skala Pemerintahan sampai yang terbawah yaitu Desa/Kelurahan. Semua stake holder pertanahan harus tahu akan hak dan kewajibannya karena tertulis dalam sertipikat tanah dan sebagai sosial kontrol pengawasannya dibantu oleh KSM MPBM di desa/kelurahan yang bersangkutan dalam rangka pembangunan berkelanjutan. Pemerintah Pusat membuat Norma, Standart dan Kriteria Penyusunan Tata Guna Tanah, Pemerintah Daerah membuat Rencana Tata Guna Tanah sedangkan masyarakat di desa mengawasi pelaksanaannya.
Pemberian Hak Permanen pada tanah Keraton Ngayogjakarta dan Pakualaman serta untuk keraton-keraton lainnya hanya di lokasi keraton yang bersangkutan saja, tidak terhadap tanah yang di luar kraton (karena tanah diluar kraton sebagai tanah swapraja dan atau tanah eks swapraja telah dinyatakan oleh UU menjadi tanah negara yaitu tanah milik bangsa indonesia yang dikuasai negara dan dijadikan obyek tanah land reform yang dibagikan pada petani penggarapnya). Demikian juga dengan Tanah Ulayat Masyarakat Adat yang masih eksis keberadaannya dilapangan sebagai mana hasil pendataan masyarakat melalui KSM MPBM.
Agar tanah NKRI bisa dipergunakan oleh bangsa Indonesia sepanjang masa maka urusan administrasi pengelolaan pertanahan yang meliputi penguasaan dan pemilikan tanah (land tenure), penggunaan tanah (land use), nilai tanah (land value) dan pengembangannya (land development) harus dalam satu manajemen (lembaga). Kebijakan pertanahan (land policy) untuk pembangunan berkelanjutan dapat disusun apabila ada simtanas bidang tanah diseluruh NKRI sampai pada tingkat pemerintahan terbawah (desa/kelurahan) telah terbangun, dapat dengan mudah terbangun apabila dengan partisipasi masyarakat secara gotong royong melalui KSM MPBM.
BPN RI ( Lembaga Pemerintahan Non Kementrian) sebagai koordinator pengelola lokasi kegiatan dalam mensupport jalannya pembangunan , kedudukannya harus sejajar dengan Bappenas sebagai koordinator kegiatan/proyek dan Kementerian Keuangan sebagai penyedia anggaran dalam pembahasan RAPBN, demikian juga tingkat pemerintahan daerah dalam pembahasan RAPBD.
BPN RI harus dipimpin oleh seorang karier di BPN ataupun mantan BPN yang berpengalaman mempunyai jam terbang tinggi dan pernah menjabat di kebijakan, operasional, pengawasan, riset dan pengembangan , berintegritas tinggi, jujur dan mempunyai jiwa nasionalisme yang teruji. Hindari pimpinan BPN selama ini selalu bukan dari pejabat karier sehingga arah pembangunannya tidak jelas, tidak pernah ada pembinaan korps dan selalu ada kepentingan pribadi maupun kelompok dalam penempatannya sebagai Ka BPN RI.
Merevitalisasi kembali Tupoksi BPN RI sebagaimana pada UUPA yaitu menegakkan keadilan dari penghisapan manusia atas manusia yang berkaitan dengan tanah, sebagai rasa mensyukuri karunia Tuhan YME oleh Bangsa Indonesia sebagai pemilik tanah yang bersifat ABADI.
KSM MPBM dibekali dengan 4 buku yaitu Buku A berisi riwayat kepemilikan tanah, Buku B berisi hasil pemetaan bidang tanah yang sudah diverifikasi dan disetujui para pemilik tanah (stake holder) yang merupakan kontra diktur delimitasi relatif (belum tetap karena belum diukur secara kadastral), Buku C berisi mutasi tanah dan masalah pertanahan baik kepemilikan maupun penggunaan tanahnya, Buku D berisi Rencana Tata Ruang, Tata Guna Tanah, Tata Bangunan dan Tata Guna Air. Buku ABCD tersebut akan ditutup buku setiap akhir tahun atau pada saat adanya pergantian pejabat Kepala Desa/Kelurahan yang diketahui Pejabat BPN Kabupaten/Kota setempat. Data MPBM dapat dijadikan bahan aspirasi masyarakat pada Musyawarah Nasional Perencanaan Pembangunan Tingkat Kecamatan, demikian seterusnya sampai ke tingkat Pusat di Jakarta.
KSM MPBM dapat diberdayakan sebagai Panitia Landreform Desa setempat dalam pelaksanaan Reforma Agraria dan bahkan bisa dijadikan embrio pembentukan Koperasi Primer (Koperasi Budaya, bukan sekedar ekonomi) di Desa, demikian selanjutnya di kecamatan menjadi Koperasi Sekunder, di kabupaten/kota menjadi Koperasi Tersier dan seterusnya sampai ke pusat menjadi Koperasi Budaya Nasional. Pada tingkatan Koperasi Tersier akan didapatkan tokoh masyarakat dari kecamatan yang bisa menjadi anggota legeslatif berkwalitas dan seorang pemimpin untuk memimpin kabupaten/kota yang besangkutan dengan cara musyawarah mufakat sebagaimana implementasi sila ke 4, Kerakyatan yang dipimpin dalam hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan sila ke 5, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah yang dimaksud dengan Demokrasi Pancasila, akar jati diri bangsa yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu kasih sayang, gotong royong, tolong menolong dan kekeluargaan. Bukan Demokrasi Barat dengan Pemilu dan Pilkada yang mendasarkan persaingan, individualistis, mencari kekuasaan dan uang untuk melanggengkan kekuasaannya dan seterusnya.
Kesemua hal tersebut sebagai aplikasi dari keempat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ikha dalam kaitannya dengan Demokrasi Pancasila serta tanah sebagai wahana kiprahnya rakyat dan pemerintah dalam NKRI.
Bagaimana peran Partai Politik, seharusnya dalam rangka Nation and Character Building mempersiapkan Sumber Daya Manusia dengan pelatihan-pelatihan penyadaran ideologi kebangsaan maupun ketrampilan individu dalam menghadapi tantangan global, sebagaimana yang telah dirintis Yayasan Obor Tani Semarang membangun Sentra Pemberdayaan Tani Tanaman Buah Unggul pada 18 Desa di Jawa Tengah.
Jakarta, Desember 2011
Pengamat Agraria/Pertanahan
Anggota Dewan Pengawas Yayasan Obor Tani Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar