Fungsi sertifikat tanah sebagai recht cadastral perlu direvitalisasi, bukan sekadar untuk memberikan kepastian dan jaminan hukum hak atas tanah tetapi mestinya juga menjadi alat kendali untuk kemakmuran yang berkeadilan bagi rakyat NKRI dan menjaga kelestarian kualitas lingkungan hidup.
“BPN seharusnya tidak hanya sekadar menerbitkan sertifikat tanah, tetapi harus bisa memastikan, setiap bidang tanah dapat menjamin kelangsungan pembangunan, kemasyarakatan dan kebangsaan yang berkelanjutan, sesuai UU No.5 Tahun 1960 tentang Pokok - Pokok Agraria (UUPA),” ujar praktisi pertanahan Bambang S. Widjanarko, di Jakarta kemarin.
Dalam UUD 45 mengamanatkan, negara mengatur sumber-sumber ekonomi untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dengan paham sosialisme Indonesia dengan semangat gotong royong.
Perlunya segera di wujudkan UU Pertanahan sebagai payung hukum bagi pelaksanaan UUPA dan penataan kembali Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) berdasarkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 untuk memberikan perlindungan rakyat miskin.
Alasannya adalah karena UU Pertanahan memuat azas-azas, ajaran dan filosofi hukum Pertanahan yang menjabarkan hak keperdataan orang atas tanah, sedangkan UU Agraria/UUPA adalah peraturan pelaksanaan bagi orang dalam hubungan pengelolaan tanah agar berhasilguna untuk dinikmati orang dan masarakat. Karena itu pelaksanaan UUPA harus dengan acuan UU Pertanahan, sebagai payung hukumnya, agar tidak merugikan rakyat, karena sengketa yang terus menerus tanpa penyelesaian dengan dasar hukum yang kuat.
Indonesia hingga kini belum memiliki UU Pertanahan yang mengatur Hukum Pertanahannya sebagai pedoman acuan bagi pelaksanaan UUPA, maka banyak sengketa yang tidak dapat dibedakan apakah merupakan sengketa tanah atau agraria. Akibatnya semua sengketa diselesaikan berdasarkan kebijakan pejabat eksekutif yang hanya mengacu pada UUPA yang lepas kendali dari payung hukum yang seharusnya diacu yaitu Hukum Pertanahan melalui UU Pertanahan. Karena itu banyak keputusan penyelesaian sengketa yang justru ditolak masarakat dan menimbulkan sengekta baru, sebab keputusannya selain tidak memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat, juga karena para penegak hukum tidak memiliki acuan dasar untuk menilai benar tidaknya atau adil tidaknya tuntutan dalam sengketa yang terjadi.
Bambang juga mengatakan perlunya aparat BPN dari pusat sampai ke Kabupaten/Kota harus memahami esensi UUPA, agar bisa memberikan pencerahan pada birokrasi di luar BPN dan masyarakat, serta bisa melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dengan benar. Karena itu aparat BPN harus memahami anatomi pertanahan, mampu menjabarkan amanat para pendiri bangsa, bahwa tanah sebagai perekat NKRI dan sebagai wahana kehidupan yang harmonis bagi langgengnya Bhinekka Tunggal Ika. “Harus dipahami juga bahwa tanah menyangkut aspek poleksosbudhankamnaskum dan teknis,” ujar Direktur Pengolahan Tanah Negara, Tanah Terlantar & Tanah Kritis BPN RI itu.
Untuk menjaga wilayah NKRI, BPNRI seharusnya segera memasang tugu – tugu kadastral di wilayah perbatasan dan pulau – pulau terluar. Selain untuk mengetahui koordinat wilayah NKRI, hal itu juga berfungsi sebagai pengamanan hukum dan administrasi pertanahan.
Sedangkan untuk bisa memahami anatomi pertanahan, yang digambarkan dalam database P4T di lapangan, diperlukan program pemberdayaan masyarakat. yang demokratis. Hal itu dilakukan dengan program Manajamen Pertanahan Berbasis Masyarakat (MPBM), yang sudah diujicobakan di 35 desa/kelurahan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah itu, tahun 2006. Program itu memberdayakan anggota masyarakat sebagai motor penggerak. “Melalui rembug desa dibentuk Tim Sembilan, dipilih empat orang pemuda sebagai tim pengumpul data dan lima orang tokoh masyarakat sebagai tim verfikasi data,” tutur mantan Kakanwil BPN Jawa Tengah ini.
Dijelaskan, dalam prakteknya, masyarakat mematoki tanahnya masing-masing, BPN Kab/Kota menyiapkan Peta Dasar/ Kerja untuk memplotting sket bidang tanah yang dihasilkan oleh Tim Sembilan, dan mensupervisi administrasi pertanahan di Desa/Kelurahan.
Peta dasar diambil dari Peta Citra / Peta Google / Peta Minut Jantop AD / Peta Kehutanan / Peta Sismiop, dan sebagainya. “Hasil pendataan bidang tanah tersebut juga bisa digunakan kelompok masyarakat desa untuk merencanakan optimalisasi penggunaan dan pemanfaatan tanah yang dapat menciptakan lapangan kerja sekaligus mengentaskan kemiskinan,” tandas Bambang.
Dalam hal ini, pemerintah hanya memfasilitasi dan supervisi berupa asset reform (sertifikasi tanah) dan akses reform, seperti permodalan, keterampilan, produksi, industri rumah tangga, packing, pemasaran, dan sebagainya.
Bambang menambahkan, tahun 2007, tiga kabupaten yakni Sragen, Purbalingga dan Pemalang menerapkan program MPBM secara serentak di seluruh desa/kelurahan, sementara kabupaten/kota lainya melaksanakan secara sporadis di beberapa desa. “Tahun 2008, MPBM juga diaplikasikan di Kabupaten Maluku Tenggara yang sarat dengan sengketa tanah ulayat. Sebab program ini dapat mencegah dan menyelesaikan sengketa tanah yang banyak terjadi di masyarakat,” tambahnya.
Sebenarnya MPBM adalah penjabaran dari perintah Tap MPR No.IX tahun 2001 dan Kep MPR No.V tahun 2003, dimana dalam pelaksanaan reforma agraria didahului dengan pendataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang selama ini tidak pernah dilaksanakan secara konsekuen.
Hasil MPBM juga dapat dikros-cek dengan peta aset tanah milik pemerintah, baik dari sumber APBN/D, hasil nasionalisasi aset milik asing di era ORLA, yaitu tanah - tanah PJKA, PTPN, PELNI, Pelabuhan dan pengawasan tanah – tanah ex perkumpulan kelompok cina eksklusif di era ORBA (buku merah putih) serta tanah – tanah yang dikuasai oleh TNI dan POLRI setelah kemerdekaan.
Aset Tanah milik atau yang dikuasai Pemerintah tersebut nantinya bisa di manfaatkan untuk menggerakkan ekonomi nasional dengan cara mengoptimalkan penggunaan dan pemanfaatannya mengingat lokasinya yang kebanyakan sangat strategis. Pemanfaatan tanah tersebut bisa diperuntukkan bagi kepentingan perlindungan rakyat miskin (pasar tradisional, rusunewa), infrastruktur, memperbaiki kualitas lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan pangan, menciptakan sumber energi baru, pembangunan transportasi massal orang dan barang (rel kereta api fourth track dari Banda Aceh sampai Banyuwangi) serta cadangan umum yang bersifat strategis bagi keperluan negara.
Untuk melangkah ke sana, diperlukan koordinasi dan sinergitas BPNRI, Depdagri, Depkeu, Meneg BUMN, Menhut, Mentan, Meneg Bappenas dengan koordinasi Menko Ekuin.
Hal itu dikemukakan, menanggapi terkaitnya kemiskinan dan kebijakan yang menyangkut pertanahan sehingga diperlukannya intervensi politik dan sosial untuk memecahkan kebuntuan kemiskinan dengan operasionalisasi kebijakan yang mampu menyalurkan kreatifitas masyarakat yang memiliki seribu strategi alternatif melawan kemiskinan, serta kaitannya dengan penguatan solidaritas sosial.
Oleh: Bambang.S Widjanarko
Praktisi Pertanahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar