Minggu, 21 Oktober 2012

Membayar Hutang Harapan Para Pendiri Bangsa Yang Terabaikan Dengan Merajut Kembali “BHINEKA TUNGGAL IKA ” Yang Tererosi


MENYONGSONG 100 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL


Latar Belakang Permasalahan

1. Yuridis dan Historis
Bangsa Indonesia adalah sebuah Bangsa besar yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang bersatu dan terikat erat dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Bangsa besar ini mendiami Wilayah yang besar pula, tersebar dalam berbagai pulau dan terdiri dari desa-desa adat yang sarat dengan nilai – nilai lokal yang memuat kesatuan dan harmonisasi antara Manusia, tanah dan alam semesta. Lembaga desa adat dengan nomenklatur yang bermacam-macam seperti desa, nagari, patuanan, dan marga telah eksist jauh sebelum NKRI terbentuk. Sejak NKRI terbentuk, perundang – undangan yang menyangkut dengan tanah (dalam arti kulit bumi) dan penjabarannya kurang dapat mengayomi nilai – nilai tanah adat yang sebelumnya sudah ada.

Administrasi pertanahan yang berlangsung secara adat tesebut dalam NKRI dikembangkan melalui UU No. 5 tahun 1960/UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang berakar pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. UUPA tersebut hanya mengaitkan dan mengakomodasi nilai nilai tanah ulayat / adat melalui klausul “sepanjang masih ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, akan tetap diakui oleh UUPA”. Sampai dengan saat ini, belum pernah ada kebijakan teknis operasional untuk membuktikan klausul “sepanjang masih ada” tersebut, kecuali melalui Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN Nomor 5 tahun 1999 tentang Inventarisasi tanah adat. Permasalahan yang terjadi adalah belum dilaksanakannya inventarisasi tersebut oleh Pemerintah Daerah hingga tuntas. Hal ini, secara tidak langsung mengakibatkan hilangnya nilai – nilai luhur keharmonisan dalam pengelolaan tanah adat, karena ketidak jelasan data subyek dan obyek dari tanah adat tersebut .

Disisi yang lain, penyeragaman sistem Pemerintahan Desa yang telah dinasionalisasikan melalui UU Pemerintahan Desa – UU No. 5/1979, sama sekali tidak mengakomodasi dan mewadahi urusan pertanahan yang sebenarnya sarat dengan nilai-nilai lokal/adat. Dengan demikian pelaksanaan pemerintahan desa/nagari/marga dalam mengelola administrasi pertanahan tidak lagi menerapkan sistem tanah adat / ulayat secara otonomi, tetapi perlahan menjadi hilang dengan adanya UU tersebut.

Kurangnya perhatian terhadap administrasi pertanahan di desa, menimbulkan masalah-masalah pertanahan yang dapat mengganggu stabilitas pemerintahan. Pengembangan administrasi pertanahan berdasarkan UUPA/UU No. 5/1960 belum dapat mengaitkan dengan masalah tanah adat, kecuali pada saat dibutuhkan dan penanganannya dilakukan secara parsial, yaitu pada waktu terjadi konflik ataupun sengketa, pembebasan tanah, dan juga permohonan hak atas tanah menurut UUPA.

2. Faktual
Dalam sejarahnya, pelaksanaan sistem administrasi pertanahan di Indonesia berbeda – beda. Administrasi pertanahan di pulau Jawa, Madura dan Bali serta sebagian Lombok telah menerapkan Landrente sejak jaman penjajahan Belanda. Sistem adat yang telah eksist diakomodasikan dan diharmonisasikan ke dalam sistem C desa, Girik, Petuk atau Letter D yang sasaran utamanya adalah untuk mendukung administrasi pajak tanah (PBB), dan bukan untuk Land Tenure / Kadasteral.

Sistem C desa dikelola secara pribadi oleh Kepala desa dan Sekretaris desa/Carik, sering menimbulkan masalah pertanahan. Hal ini disebabkan pemeliharaan data pertanahannya tidak dilaksanakan secara simultan dan berkesinambungan, yang diperbarui hanya data tekstualnya, tanpa diikuti perubahan data spasialnya. Fragmentasi bidang tanah yang berlangsung terus menerus, tidak diikuti dengan pemutakhiran pada data spasialnya telah mengakibatkan kekacauan administrasi pertanahan.

Surat Keterangan sering diberikan oleh Kepala Desa dengan menggunakan nomor C yang bentuk bidang tanahnya atau kondisi di lapangannya sudah berubah. Administrasi pertanahan melalui mekanisme pendaftaran tanah berdasarkan UUPA mempercayai keterangan yang disebutkan dalam Surat Keterangan Kepala Desa, sedangkan Kepala Desa menggunakan Nomor C desa, tanpa mengetahui secara pasti letak bidang tanahnya (kepastian obyek) pada saat keterangan tanah tersebut dibuat. Hal ini menjadi potret dari administrasi pertanahan di desa, sedangkan tuntutan dinamika penyelenggaraan administrasi public, menghendaki kita untuk terus melakukan pembaruan dan updating. 

Di sisi lain kegiatan penyelenggaraan pendaftaran tanah di Indonesia dilaksanakan oleh jajaran Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang mencakup kegiatan pengukuran, pemetaan dan pembukuan hak atas bidang tanah, sangat terkait dengan aspek teknis, yuridis dan administratif dari data bidang tanah tersebut. Kekhasan penyelenggaraan pendaftaran tanah sangat terkait dengan pertimbangan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap subyek dan obyek hak atas tanah. Dengan demikian penerbitan sertipikat tanah harus menjamin kepastian hukum/kepastian hak atas tanah, yaitu kepastian terhadap subyek hak atau pemegang hak dari bidang tanah tersebut, serta kepastian obyek, yaitu kepastian mengenai letak, batas dan luas dari bidang tanah tersebut.

Sistem Pendaftaran tanah akan mempunyai kepastian hukum, apabila bidang tanah yang telah diukur tersebut dapat direkonstruksi mengenai letak, batas dan luasnya. Untuk dapat memberikan jaminan kepastian hukum atas obyek hak atas tanah tersebut, maka pengukuran bidang tanah harus memenuhi kaidah teknis kadastral dan kaidah yuridis. Cara dan prosedur perolehan data ukur bidang tanah tersebut harus memenuhi asas kontradiktur delimitasi, yaitu adanya persetujuan batas dari pemilik bidang tanah yang berbatasan serta adanya asas publisitas. Pelaksanaan pendaftaran tanah sangat memerlukan dukungan sarana titik-titik dasar teknik, yaitu titik yang mempunyai koordinat yang diperoleh dari suatu pengukuran dan perhitungan dalam suatu system tertentu, yang berfungsi sebagai titik kontrol atau titik ikat untuk keperluan pengukuran dan rekonstruksi batas. Sarana lain yang mempunyai arti sangat strategis, yaitu Peta Dasar, karena setiap bidang tanah yang telah diukur harus dilakukan pemetaan/dipetakan pada peta dasar dan peta dasar pendaftaran, selanjutnya bidang tanah tersebut diberi Nomor Identifikasi Bidang (NIB). Dari peta dasar pendaftaran ini kemudian dibuat peta pendaftaran, yaitu peta yang menggambarkan bidang-bidang tanah untuk keperluan pembukuan hak.

Kondisi obyektif saat ini mengenai data penyelenggaraan pendaftaran tanah adalah sebagai berikut :
dari bidang tanah yang berada diluar kawasan hutan, telah terdaftar atau telah terbit sertipikat bidang tanahnya adalah sebesar 41,5 % dan dari data ini yang telah terpetakan dalam peta dasar pendaftaran baru 5 %, sedangkan lainnya belum diadakan pemetaan/plotting bidang tanahnya pada peta dasar pendaftaran (flying parcel).Hal ini disebabkan pada saat penerbitan sertipikat bidang tanahnya, Kantor Pertanahan yang bersangkutan belum mempunyai sarana Peta Dasar.

Kondisi bidang tanah yang belum terdaftar sebanyak 58,5 % dan sertipikat bidang tanah yang belum terpetakan akan merupakan sumber kerawanan bagi timbulnya masalah pertanahan dikemudian hari.
Selain keadaan tersebut di atas, juga terjadi saat ini adalah penggunaan letter C desa sebagai alas hak, tanpa disertai dengan data spasial yang menjelaskan letak relative bidang tanah yang dimohon tersebut. Di lain pihak, sarana yang ada di sebagian besar Kantor-kantor Pertanahan belum mempunyai Peta Dasar secara lengkap yang digunakan untuk pemetaan bidang-bidang tanah yang telah dilakukan pengukuran dan atau telah terbit sertipikatnya.. Hal ini menimbulkan kerawanan dengan konsekuensi dapat terjadinya sertipikat ganda, yang diakibatkan tidak adanya control terhadap kejelasan atau kepastian letak bidang tanah yang telah dan akan diterbitkan sertipikatnya di atas Peta Dasar Pendaftaran, sehingga dapat menimbulkan permasalahan yang besar dan berkelanjutan di kemudian hari.

UUPA tidak memberikan kriteria mengenai eksistensi hak ulayat, namun hukum adat mempunyai fungsi sebagai kaidah aspiratif, yaitu dapat berlaku hukum adat apabila sesuatu hal belum diatur dalam suatu peraturan perundangan yang baru dan sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA. Konsepsi hukum adat bersifat komunalistis, yaitu adanya pengakuan hak bersama atas tanah yang dikenal dengan hak ulayat masyarakat hukum adat. Dengan demikian UUPA mengakui keberadaan hak ulayat ini sejauh menurut realita, masyarakat hukum adat tersebut masih ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

Proses pembebasan wilayah adat, dilakukan setelah adanya pernyataan pelepasan hak adat, baik yang disertai dengan penyerahan uang, jasa atau bentuk-bentuk lain yang disyaratkan oleh pemangku adat / tetua adat. Mengingat tidak adanya kejelasan mengenai batas wilayah adat atau batas desa adat untuk di Luar Jawa, maka surat pelepasan dijadikan sebagai alas hak dan menjadi bahan pertimbangan pada proses penegasan menjadi Tanah Negara.

Suatu bidang tanah atau beberapa bidang tanah yang berdekatan letaknya dapat memiliki dua atau lebih surat pelepasan adat. Keadaan yang tidak akurat ini, dapat menjadi sumber konflik atau sengketa pertanahan baik sebelum maupun pasca penerbitan sertipikat bidang tanah tersebut. (Kasus Tanah merupakan kasus dominan yang masuk ke Pengadilan dan 70% berindikasi pidana).

Keadaan yang tidak pasti (“KEADAAN YANG ABU – ABU”) dalam sistem C desa (di Jawa, Madura, Bali dan Lombok) dan sistem tanah adat (di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya, Kep. Riau, Kep. Maluku, NTT), sampai dengan saat ini belum pernah ada penanganannya secara tuntas, meskipun UUPA telah berumur 48 tahun. “Keadaan ABU-ABU” ini menjadi lahan yang subur bagi para mafia tanah dan “Oknum” yang selalu berkeinginan dan berupaya untuk mempertahankan keadaan tersebut.

Usulan Penyelesaian Masalah

1. Konsep dan Dasar Pemikiran
Saat ini, tuntutan masyarakat terhadap pelayanan publik yang berkualitas, antara lain pelayanan di bidang pertanahan semakin meningkat, baik dari sisi mutu pelayanan, jumlah produk dan kepastian waktu dalam layanannya.
Sejak NKRI terbentuk sampai dengan saat ini, pengampu utama UUPA, struktur kelembagaannya baru sampai pada tingkat Kabupaten dan Kota. Sedangkan untuk mewujudkan cita-cita proklamasi dan tercapainya tujuan UUPA, maka tersedianya infrastruktur fisik kadaster pada setiap kantor, yaitu data bagi setiap bidang tanah, seperti letak, batas, luas, penggunaan dan nama pemilik atau yang menguasainya, jenis hak serta data spasial berupa peta bidang tanah yang telah dipetakan pada peta dasar pendaftaran merupakan hal yang paling signifikan. Kadaster fisik inilah yang akan mendukung terselenggaranya legal cadastre (kadaster hukum) bagi BPN RI dan fiscal cadastre (kadaster pajak) bagi Direktorat Jenderal Pajak.

Pelaksanaan administrasi pertanahan saat ini memerlukan perhatian khusus, pendataan pertanahan perlu segera dilaksanakan melalui inventarisasi dan registrasi secara sistematis dan komprehensif. Berbagai cara dan metoda dapat dilakukan untuk melaksanakan pendataan ini. Salah satu terobosan ditengah-tengah keterbatasan sarana yang ada, yaitu dengan mengakomodasikan dan mengembangkan tata nilai yang telah ada di Desa dan yang telah berlangsung sejak sebelum NKRI terbentuk berupa masyarakat yang guyub yang mempunyai semangat kebersamaan, persaudaraan, kekeluargaan dan kegotong royongan.

Bertitik tolak dari hal tersebut, maka menjadi hal yang sangat signifikan apabila pendekatan utama dalam pelaksanaan ADMINISTRASI PERTANAHAN ADALAH DENGAN BERBASIS MASYARAKAT.
Memberdayakan masyarakat dalam proses pembangunan sistem pengelolaan bidang tanah Desa demi Desa perlu dikedepankan. Pendekatan ini terabaikan karena kita terlena oleh pendekatan keproyekan yang mengabaikan semangat masyarakat yang ada di desa-desa. Marilah kita bangkit kembali membangun Manajemen Pertanahan Berbasis Masyarakat secara serempak dengan semangat kebersamaan, persaudaraan, kekeluargaan dan kegotong royongan sebagai jalan keluar dari keterbatasan anggaran negara.
Perlu diintrodusir bahwa Manajemen Pertanahan Berbasis Masyarakat ini akan menjadi entry point bagi terwujudnya kadaster multi guna (multipurpose cadastre) yang akan menjadi landasan yang mampu :
Menutup sumber sengketa pertanahan, dengan menghilangkan “keadaan abu-abu”, sehingga dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang baik, efisien dan efektif.
Meningkatkan kualitas pengambilan keputusan yang menyangkut pembangunan dan perubahan keadaan sosial kemasyarakatan yang berkaitan dengan permasalahan pertanahan, agar tetap memenuhi azas keadilan dan kepastian hukum.
Meningkatkan kualitas perencanaan pembangunan, sehingga perumusan masalah dan strategi pemecahannya dapat mencapai sasaran yang ditargetkan dan sesuai dengan fakta dan realita yang ada.
Mendukung program penanggulangan kemiskinan dan kerusakan lingkungan.
Mendukung berbagai kepentingan manajemen pemerintahan yang meliputi manajemen Perpajakan, inventarisasi Aset Pemerintah, administrasi pertanahan, perencanaan tata bangunan, tata ruang, tata guna sumber daya air dan sumber daya alam lainnya serta perencanaan kelistrikan dan lain-lain, sehingga penyelenggaraannya dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien dan komprehensif.

Dalam rangka menyongsong 100 tahun kebangkitan nasional, kiranya tepat apabila Momentum ini kita gunakan sebagai pencanangan Pembangunan Manajemen Pertanahan Berbasis Masyarakat (MPBM) yang dapat dilaksanakan secara serempak di seluruh wilayah Indonesia. Dilain pihak disadari bahwa pembangunan MPBM melalui pendekatan keproyekan yang hanya menunggu sumber dana dari pemerintah, diyakini tidak akan efektif.

2. Uji Coba di Jawa Tengah  dan Penjajagan Kemungkinan Pelaksanaan di Provinsi Kalimantan, Maluku Nusa Tenggara dan Papua.

Pelaksanaan Uji coba pembangunan MPBM yang tersebar di 35 Desa / Kelurahan dalam 35 Kabupaten/Kota telah diselenggarakan di Jawa Tengah pada tahun 2006 dengan menggunakan biaya ABT APBN BPN RI. Kegiatan tersebut mendapat dukungan penuh dari Gubernur Jawa Tengah melalui 3 (tiga) Surat Edarannya dan mendapat respons positif dari Pemerintah Kabupaten / Kota dan Desa-desa di Jawa Tengah.

Pelaksanaan di Desa-desa lainnya dilakukan dengan membangun sarana kerja MPBM secara bertahap dengan swadaya masyarakat, APBD Kabupaten / Kota atau Alokasi Dana Desa. Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota yang ada di Jawa Tengah berkeinginan untuk menyelesaikan 8.533 Desa / Kelurahan pada akhir tahun 2010. Hal ini direncanakan, sehubungan dengan adanya rencana Perubahan Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah.

Hasil analisa terhadap penerapan uji coba MPBM di propinsi Jawa Tengah, pada dasarnya dapat dijadikan acuan bagi penerapan MPBM pada wilayah Indonesia lainnya yang masih menganut penguasaan tanah adat sebagai landasan dalam penegasan Tanah Negara, yaitu dengan melaksanakan secara konsekuen PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA / KEPALA BPN No. 5 tahun 1999 melalui kerjasama, koordinasi , integrasi dan sinkronisasi kelembagaan, yaitu antara DEPARTEMEN DALAM NEGERI dan BPN RI.

Gambaran Singkar MPBM (Manajemen Pertanahan Berbasis Masyarakat)

MPBM secara harfiah dimaksudkan sebagai berikut : Manajemen ( Planning, Organizing, Actuating, Controlling ). Pertanahan ( Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan tanah). Berbasis Masyarakat ( Dikelola dan Diperuntukkan Bagi Kemakmuran dan Kemandirian Masyarakat ).

Masyarakat membuat perencanaan ( Planning ) terhadap penggunaan dan pemanfaatan tanah di wilayahnya, sehingga tumbuh perekonomian yang memberi kemakmuran bagi masyarakat setempat dengan tetap melestarikan lingkungan hidup. Pelaksanaannya dimulai dengan membangun secara swadaya sarana kerja MPBM yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten, yaitu dengan mengoptimalkan dana desa yang saat ini disediakan dalam bentuk ALOKASI DANA DESA / ADD dan pembinaan teknis oleh Kantor Pertanahan setempat. Pada tahap perencanaannya dipersiapkan agar MPBM dapat berlangsung secara swadaya ( self financing ) baik dalam operasionalnya maupun pemeliharaannya, tanpa tergantung kepada Pemerintah Daerah Kabupaten.

Masyarakat membentuk kelompok pengelola data (TIM SEMBII.AN yang dibentuk berdasarkan rembug desa/musyawarah kelurahan) dan kelompok penggerak modernisasi usaha tani di desa ( Organizing ). Pengembangan jaringan produksi dan pemasaran dilakukan dengan bantuan yang difasilitasi, dibimbing dan dikoordinasikan oleh Kantor Kecamatan dan instansi sektoral terkait.

Masyarakat yang diwakili dan dimotori oleh TIM SEMBILAN dan Kelompok Penggerak Kegiatan ( Organizing ) merealisasikan rencana ( Plan ) yang telah dibuat ( Actuating ) dan mengawasi serta mengawal pelaksanaannya, sehingga mencapai keberhasilan ( Controlling ).

Hasil dari pendataan TIM SEMBILAN dalam pelaksanaan MPBM di suatu desa, akan berupa data tekstual dan data spasial (mosaik dari letak relative bidang-bidang tanah/sketsa bidang-bidang tanah) yang akan menjadi dasar bagi pembangunan kadasteral multi guna. Data tersebut kemudian diolah dengan sarana komputer dalam bentuk digital (IT system) dengan “Backup data” yang disimpan di kantor Pertanahan Kabupaten / Kota masing-masing. Kantor Pertanahan sebagai Instansi Vertikal akan bertindak sebagai penanggung jawab teknis yang mensupervisi proses administrasi pertanahannya, termasuk pemeliharaannya/ “Updating”nya, sedangkan “Backup” datanya, satu copy disimpan di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi. Demikian selanjutnya sampai “Backup” terakhir berada di BPN RI yang akan dikelola menjadi “Sistem Informasi Manajemen Pertanahan Nasional”. Sinkronisasi “Sistem Informasi Manajemen Pertanahan Nasional” dengan “Sistem Informasi Manajemen Kependudukan” akan menghasilkan penyelenggara pelayanan pemerintahan umum yang baik. Dengan demikian, apabila hal ini dapat kita wujudkan, maka tidak ada lagi “Abu-Abu” dalam pengelolaan administrasi pertanahan dan kependudukan serta tujuan filosofis yang terkandung dalam pasal 1 s/d pasal 15 UUPA, yaitu tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat dapat kita capai.

Selain dari pada itu, dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi, maka dengan dukungan Komputerisasi dan IT (Teknologi Informasi) data yang tepat dan akurat yang dihasilkan akan sangat membantu dan menjamin kepastian hukum hak atas tanah. Data tersebut dapat digunakan secara multi guna oleh Pemerintah dalam mengatur penguasaan dan pemilikan tanah serta memimpin penggunaan dan pemanfaatan tanahnya, sehingga tanah dapat digunakan sebagai sumber kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Lembaga Pemerintah terkait akan dapat mengakses data tersebut (sesuai dengan batasan yang diperbolehkan) untuk dapat dipergunakan sesuai dengan keperluannya.

Dengan demikian pelayanan kepada masyarakat dan dunia usaha dapat lebih ditingkatkan dan para pengguna data akan memperoleh gambaran mengenai administrasi pertanahan secara tepat, mudah dan dapat dipertanggung jawabkan, tanpa melalui birokrasi yang panjang dan rumit. Pada akhirnya menjadi harapan kita semua bahwa keberadaan data administrasi pertanahan ini akan dapat membawa banyak keuntungan bagi masyarakat secara luas dengan lebih berdaya guna dan berhasil guna.

Penutup

Demikianlah harapan dan cita-cita kita bersama dengan memberikan kontribusi kapada Bangsa dan Negara untuk menapaki hari esok dalam keadaan yang lebih baik dan marilah kita membangun kemandirian Bangsa dalam memasuki era globalisasi dengan melakukan Pemberdayaan Masyarakat dan menggalang partisipasi masyarakat dalam upaya Pengembangan Perekonomian Pedesaan dan Kawasan serta dengan memperkokoh penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang modern ( Modernisasi Desa ).

Wujudkan semangat Kebangkitan Nasional melalui Penyadaran dan Pembangunan Kemandirian Bangsa yang diwujudkan dalam Gerakan Rakyat dalam memasuki era globalisasi, dengan membangun Manajemen Pertanahan Berbasis Masyarakat ( MPBM ) secara serempak dengan semangat kebersamaan, persaudaraan, kekeluargan dan kegotong royongan di Desa / Kelurahan di seluruh Wilayah NKRI dalam kurun waktu 5 tahun. Hal tersebut sekaligus dapat merajut kembali “Ke-Bhinneka Tunggal Ika-an” bangsa Indonesia sebagaimana yang menjadi harapan dari para pendiri bangsa, sehingga fungsi tanah sebagai perekat NKRI dan tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat dapat kita wujudkan.


Jakarta, 28 Mei 2009.

Tulisan Ini Merupakan Pendapat Pribadi Penulis,

Mantan Banas Meneg. Agraria Bidang Perkotaan Urusan Penataan Kawasan, Kapuslitbang BPN RI, Inspektur Kepegawaian, Kakanwil BPN Prov. Jawa Tengah, Direktur Pengolaan Tanah Negara, Tanah Terlantar & Tanah kritis di BPN RI
Dan saat ini sebagai Pemerhati Agraria/Pertanahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar