Program Pertanahan Pro Rakyat berupa Rencana Strategis Pertanahan Tahun 2009-2014 sebagai lanjutan Program Reforma Agraria 9,15 juta hektar yang belum dapat direalisasikan sampai dengan tahun 2009 ini. Hal tersebut terjadi karena data Reforma Agraria hanya berupa angka dan peta di atas kertas dan tidak nyata di lapangan.
Manajemen Pertanahan Berbasis Masyarakat (MPBM) adalah gerakan penyadaran masyarakat terhadap Catur Tertib Pertanahan (tanah dalam arti wilayah) yaitu Tertib Administrasi Pertanahan, Tertib Hukum Pertanahan, Tertib Penggunaan Tanah, dan Tertib Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup. Gerakan MPBM diawali dengan inventarisasi data bidang tanah oleh masyarakat sendiri untuk membangun data base bidang tanah di masing-masing desa/kelurahan setempat yang hasilnya dapat diketahui bidang-bidang tanah mana yang sudah bersertipikat dan yang belum bersertipikat serta batas desa/kelurahan yang bersangkutan. MPBM akan menghasilkan data bidang tanah yang clear, clean dan fresh yang dapat dijadikan obyek untuk melaksanakan Reforma Agraria secara nyata di lapangan. Hal tersebut harus dilakukan lebih awal disebabkan BPN belum mempunyai data base seluruh bidang tanah di NKRI sehingga sulit mendapatkan tanah yang clear, clean dan fresh yang dapat dijadikan obyek tanah Reforma Agraria.
Gerakan MPBM diawali dengan para penguasa/pemilik tanah membuat tanda batas masing-masing tanahnya dan diverifikasi oleh Tokoh Masyarakat setelah clear dipetakan oleh para Pemuda Desa. Tim MPBM terdiri dari 3 s/d 4 orang Pemuda Desa sebagai Tim Pengumpul Data dan 4 s/d 5 orang Tokoh Masyarakat sebagai Tim Verifikasi. Tim MPBM dipilih melalui Rembug Desa. Hasil inventarisasi dibukukan dan dikomputerkan dalam bentuk tekstual dan spasial sebagai Tata Usaha Administrasi Pertanahan Desa/Kelurahan. BPN wajib mensupervisi dan memverifikasi Tata Usaha Administrasi Pertanahan Desa/Kelurahan tersebut secara periodik dan saat pergantian Kepala Desa/Kelurahan.
Dengan partisipasi masyarakat melalui Gerakan MPBM seluruh Desa/Kelurahan di NKRI secara serempak (kalau bertahap maksimal harus 3 tahun selesai) dapat dibangun data base bidang tanah yang akurat. MPBM mutlak harus dilaksanakan mengingat semua sertipikat tanah yang telah diterbitkan BPN tidak semua bidang tanahnya mempunyai peta situasi ataupun peta ukur di kantor BPN Kabupaten/Kota setempat. Dari perkiraan 40 juta sertipikat tanah yang telah diterbitkan hanya 15 % yang dilakukan secara sistematis sedangkan sisanya 85 % di terbitkan secara sporadis yang artinya tidak bisa direkonstruksi secara benar di lapangan karena belum mempunyai titik ikat yang pasti sebagaimana yang sistematis. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya sengketa-sengketa tanah baru dan berkelanjutan bagi penerbitan sertipikat tanah yang akan datang.
MPBM merupakan operasionalisasi amanat konstitusi Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, UU nomor 5/1960 tentang UUPA, PP 224/1961 tentang Landreform dan TAP MPR No. IX/2001 tentang Reforma Agraria, karena bernegara itu berkonstitusi maka MPBM sebagai sarana operasional membangun data base bidang tanah sebagaimana perintah TAP MPR No. IX/2001 seyogyanya segera dilaksanakan mengingat telah diuji cobakan satu desa/kelurahan untuk tiap Kabupaten/Kota di seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2006 dan didukung Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah untuk penduplikasiannya di seluruh Desa/Kelurahan oleh Bupati/Walikota dengan Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah Nomor 593/23571 tertanggal 28 Desember 2007.
Suka atau tidak suka harus diakui bahwa pekerjaan pemetaan sertipikat tanah harus dimulai dari nol lagi oleh BPN untuk membuat “Data Base Bidang Tanah” dengan gerakan MPBM maka buku administrasi pertanahan di Desa/Kelurahan diperbaiki dengan supervisi dari BPN Kabupaten/Kota setempat serta ditindak lanjuti dengan IT dan diaudit secara berkala, merupakan kegiatan “Penataan Aset Reform Pertanahan”. Dari kegiatan tersebut dapat diketahui posisi tiap bidang tanah sebagai aset masyarakat, aset negara atau aset bangsa (NKRI).
Pada saat ini yang lebih parah lagi BPN tidak mempunyai “Back-up Data” sertipikat tanah yang telah diterbitkan, sehingga kasus kebakaran Kantor Pertanahan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Buleleng akan menimbulkan persoalan tersendiri di kemudian hari apabila harga tanah telah membumbung tinggi. Hal tersebut makin membuat ruwetnya sengketa tanah apabila telah terkontaminasi oleh para mafia tanah sebagaimana terjadi pada saat ini di lokasi yang mempunyai kegiatan ekonomi tinggi. Instansi BPN, Peradilan, Penegak Hukum akan menjadi mainan para mafia tanah. Sasaran modus operandinya saat ini adalah aset-aset pemerintah (tanah instansi, BUMN, BUMD) yang tidak dioptimalkan penggunaannya di lokasi kegiatan ekonomi tinggi sebagai contoh tanah BPN di Kabupaten Badung Bali.
Tanah baru dapat memberikan kemakmuran setelah diberikan AKSES REFORM maka sebagai tindak lanjut Penataan Aset Reform Pertanahan diperlukan “Penataan Akses Reform Pertanahan”. Yayasan Obor Tani Semarang telah melaksanakan salah satu kegiatan penataan akses reform pertanahan dengan membuat Sentra Pemberdayaan Tani (SPT) Tanaman Buah Unggul di Desa Genting Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang sebagai titik awal obor (titik api) bagi Petani Indonesia. Diharapkan titik-titik api tersebut akan menjalar ke seluruh NKRI sehingga suatu kelak nanti desa-desa kita (one village, one product) akan menjadi surga buah di Nusantara. SPT-SPT tersebut di kemudian hari dapat dikembangkan menjadi Sentra Pemberdayaan Rakyat (SPR) berupa kegiatan Peternakan, Perikanan, Home Industry, Mix Farming dlsb, untuk pengentasan kemiskinan sebagai usaha optimalisai penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Hasil pekerjaan Yayasan Obor Tani dalam membangun SPT akan lebih optimal hasilnya bila diawali dengan penataan aset reform pertanahan, karena dalam penataan aset reform pertanahan melalui MPBM terbangun proses penyadaran masyarakat terhadap fungsi dan peranan tanah dan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Selain itu masyarakat mengetahui dengan pasti siapa yang tidak mempunyai tanah yang harus mendapatkan prioritas pemilikan tanah melalui Reforma Agraria. MPBM juga merupakan pengawasan sosial dari masyarakat terhadap tanah yang diterlantarkan oleh pemiliknya sebagai obyek spekulasi, pemilikan tanah absente dan tanah kelebihan menurut undang-undang (akan terlembaga adanya sosial kontrol dari masyarakat). Tanah-tanah tersebut dapat dijadikan obyek Reforma Agraria.
Database bidang tanah dari hasil MPBM dapat digunakan sebagai dasar pelaksanaan
Meratakan/menyeimbangkan ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah dengan Program Reforma Agraria yaitu Land Reform plus Akses Reform (tanpa akses reform pembagian tanah tersebut akan dijual lagi oleh petani).
Mencegah kelebihan pemilikan tanah pertanian maupun perumahan serta tanah absente sebagaimana amanat Undang-Undang Pokok Agraria nomor 5/1960 dan PP 224/1961.
Memperbaiki dan meningkatkan mutu dan waktu pelayanan pertanahan berupa jaminan kepastian dan jaminan hukum pada administrasi pertanahan.
Mencegah dan menyelesaikan sengketa pertanahan baru dan lama yang berkelanjutan.
Kegiatan apapun yang membutuhkan tanah yang luas, sebagaimana Reforma Agraria, pembangunan perkebunan besar, waduk, pemukiman kembali korban lumpur Lapindo dlsb.
danya saling kontrol (check and recheck) antara masyarakat, aparat Desa/Kelurahan dan Pemerintah /Pemda (khususnya BPN selaku pengampu administrasi pertanahan).
Adanya back up data pada BPN bila tarjadi bencana kebakaran, banjir dlsb yang menghancurkan warkah tanah dan peta bidang.
Bagi desa/kelurahan perbatasan dapat mengamankan teritorial NKRI dan sekaligus dilaksanakan sertipikasi tanah disepanjang garis teritotial NKRI.
Bagi pulau-pulau terluar dapat dilakukan pengamanan secara hukum dan fisik dengan sertipikasi tanah sebagai aset NKRI apabila belum dimiliki oleh perorangan, badan hukum maupun masyarakat adat setempat.
Dalam pengadaan tanah untuk infrasruktur mencegah adanya mafia/spekulan tanah karena sudah jelas pemilikan tanahnya sehingga dapat di freezing dulu untuk tidak adanya transsaksi tanah.
Pembangunan Pusat Informasi Pertanahan sebagai dasar kegiatan-kegiatan ekonomi dan penbangunan yang berkelanjutan.
Pembangunan Bank Tanah / Land Development bagi berbagai kepentingan strategis Pemerintah dan Negara.
Seyogyanya BPN di status-quo kan dahulu, tidak dilebur kedalam salah satu Departemen atau Kementrian Negara dalam pelaksanaan UU nomor 39 tahun 2008 tentang Kementrian Negara, kecuali dijadikan satu Departemen/Kementrian Agraria dan Pertanahan tersendiri yang vertikal sampai Kecamatan dan dapat mengkoordinasi semua sektoral yang berhubungan dengan agraria dan tanah.
Memposisikan Lembaga Pertanahan (BPN) sebagai yang menangani pertanahan dalam arti luas yaitu wilayah yang merupakan salah satu pilar adanya keberadaan negara (jangan hanya diartikan sebagai penerbit sertipikat tanah saja, tetapi juga mengatur optimalisasi penggunaan tanah supaya dapat memberikan kemakmuran yang berkeadilan) seperti sebagaimana kedua pilar lainnya yaitu pemerintahan dan rakyat. Di pemerintahan BPN disejajarkan dengan Bappenas dan Departemen Keuangan dalam menyusun program pembangunan yang membutuhkan tanah.
Perlu segera disusun dan diundangkan Undang-Undang Pertanahan yang berdasarkan Hukum Adat yang di”saneer” sebagai pengganti Hukum Perdata Barat yang berhubungan dengan tanah, karena telah dicabut oleh Undang-Undang Pokok Agraria, yang sampai sekarang belum pernah dibuat dan dalam pelaksanaannya hanya berdasarkan Peraturan Menteri dan atau Peraturan Kepala BPN saja sehingga dalam operasionalnya kalah dengan sektor lain yang mengatur dengan Undang-Undang pada obyek yang sama yaitu tanah tetapi diartikan dengan bahasa hukum yang lain misalnya kawasan hutan, ruang, lahan dan lain sebagainya. Sehingga di lapangan terjadi duplikasi kewenangan yang akhirnya diselesaikan dengan koordinasi dan hal tersebut memberikan beban pada masyarakat dalam pembiayaan dan peluang para mafia/pecundang NKRI memanfaatkan bagi kepentingannya.
Dalam UU Pertanahan harus mengatur juga :
Kelembagaan Pertanahan yang independen, kuat, stabil dan vertikal sampai tingkat kecamatan dibawah langsung Presiden sebagai Kepala Negara sebagaimana POLRI dan BPS.
Laboratorium Forensik Warkah dan Peta Pertanahan.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Pertanahan.
Pusat Informasi Pertanahan, untuk keperluan berbagai kegiatan pembangunan.
Bank Tanah, sebagai pencadangan tanah untuk keperluan strategis negara.
Peradilan Khusus Pertanahan/Agraria sebagai pengganti Peradilan Landreform yang dihapus pada masa lalu.
Menuliskan di sertipikat tanah Rencana Penggunaan Tanah dan Pembatasannya agar tercapai optimalisasi penggunaan dan pemanfaatan tanahnya serta harmoni dengan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Rencana Tata Ruang. Selain itu juga menuliskan sangsi hukumnya bila ada pelanggaran terhadap maksud dan tujuan pemberiaan/penegasan hak atas tanah dari Negara yaitu diberikan/ditegaskan hak atas tanahnya sesuai dengan maksud dan tujuannya. Apabila dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan maksud dan tujuannya tersebut maka hak atas tanahnya hapus/dicabut oleh Negara. Penulisan tersebut dimaksudkan merupakan sosialisasi pada pemilik tanah dan sosial kontrol dari masyarakat.
Menginventaris data bidang tanah di seluruh NKRI dengan gerakan MPBM sebagai penataan aset reform untuk tertib pertanahan. Dengan adanya TERTIB PERTANAHAN (NIB) dan TERTIB KEPENDUDUKAN (NIK) sebagai dasar TERTIB PEMERINTAHAN merupakan persyaratan PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BAIK. Sengketa tanah yang berlarut-larut dapat mengganggu jalannya pemerintahan. Hasil MPBM dapat dipergunakan sebagai titik awal berbagai keperluan kegiatan yang ada di atas/di dalam tanah untuk kemakmuran yang berkeadilan sebagaimana amanat para pendiri bangsa.
Jakarta,16 Agustus 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar