Minggu, 14 Oktober 2012

Sejarah Singkat Hukum Agraria di Indonesia



A. Masa Sebelum Agrarische Wet 1870


Sebelum adanya peraturan pertanahan yang di buat oleh Belanda di Indonesia, Indonesia saat itu telah memiliki hukum pertanahan sendiri. Hukum pertanahan tersebut berasal dari hukum adat masing-masing daerah, karena pada saat itu belum ada persatuan antar suku dan bangsa. Hukum pertanahan adat itu sampai sekarang masih berlaku dan sering disebut hak ulayat adat.

Secara singkat pengertian dari tanah ulayat adalah tanah yang di miliki oleh suatu masyarakat adat yang tatacara kepemilikanya memiliki aturan yang khas tiap-tiap daerah. Luas tanah ulayat tidak mampu didefinisikan secara pasti namun kebiasaan masyarakat adat utuk menentukan luas tanah ulayat dengan cara seluas mata memandang adalah milik masyarakat adat tersebut. Tanah ulayat merupakan tanah milik adat (masyarakat adat) dengan pemisahan antara tanah dengan bangunan yang di atasnya (pemisahan horizontal). Tiap daerah memang memiliki perbedaan tatacara kepemilikan tanah ulayat namun jika di gambarkan secara umum, ketika salah satu individu pada masyarakat adat ingin membuka lahan baru maka dia harus mlakukan mekanisme :


  1. Mabali. Mubali pemberian tanda batas tanah oleh individu anggota masyarat adat (seperti rotan di atas pohon).
  2. Musyawarah dengan ketua adat. Meminta ijin pada ketua adat untuk membuka lahan yang telah ditandai.
  3. Membuka Tanah. Membuka tanah dengan komunal (bergotongroyong / bersama-sama)
  4. Mengusahakan yaitu menanami lahan, membangun rumah, berburu, dll
  5. Timbul Hak Milik. Timbulnya hak milik tidak berarti mutlak kepemilikan individu anggota masyarakat adat.

B. Masa Agrarische Wet 1870 – 1945


Sesuai dengan sistem pemerintahan pada jaman Hindia Belanda, daerah Indonesia dibagi atas 2 bagian yang mempunyai lingkungan hukum sendiri yaitu :

  1. Daerah yang diperintah langsung oleh atau atas nama Pemerintah Pusat dan disebut dengan Daerah Gubernemen.
  2. Daerah-daerah yang tidak diperintah langsung oleh Pemerintah Pusat yang disebut dengan daerah swapraja (Dirman, 1952: 13).

Menurut pasal 21 ayat (2) Indische Staatsregeling (IS), bahwa peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah Pusat hanya berlaku di daerah-daerah gubernemen saja. Jika peraturan-peraturan Pemerintah Pusat akan diberlakukan di daerah Swapraja harus dinyatakan dengan tegas di da1am peraturah tersebut bahwa juga berlaku untuk daerah Swapraja atau ditegaskan dengan suatu peraturan lain. Sebagai contoh : Pasal 1 Agrarisch Besluit (S. 1870 -118) tentang “tanah negara’ (Staatsdornein) tidak berlaku untuk daerah-daerahswapraja. “Tanah mentah “ (Woeste gronde) di daerah-daerah swapraja tidak ditetapkan siapa pemiliknya menurut Pasal 1 Agrarisch Besluit. Secara singkat pemerintah belanda mulai memberlakukan Agrarische Wet kepada pengusaha swasta asing atas desakan dari para kolongmerat belanda dan aktifis HAM dari Belanda yang mengecam kultur selsel (kerja rodi). Secara logis, culture stelsel merugikan pemilik modal swasta yang ingin berinfestasi karena pembatasan kepemilikan tanah oleh pemerintah dengan maksimal sewa tanah 20 tahun. Setelah berlakunya Agrarische Wet hak erfpacht mulai dapat di terapkan pada Indonesia. Seiring berjalanya waktu praktek hak erfpacht mulai bergeser menjadi hak eigendom dan pemerintah Belanda merasa cultur stelsel memberi keuntungan kepada pemerintah sehingga terjadilah percampuran hukum pada Agrarische Wet. Dengan kebijakan pemerintah Belanda Agrarische Besluit (Stb 1870 No. 118) Pasal 1 AB : “Semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan, bahwa tanah itu tanah eigendomnya adalah domein Negara” Dengan adanya pasal tersebut pihak kesultanan Kerataon Yogyakarta membuat peraturan : RIJKSBLAD Yogyakarta 1918 No. 16 : “ Sakabehi bumi kang ora ono tondo yektine kadarbe ing liyo mawawa wenang egendom dadi bumi kagungane keratin ingsun Ngayugjokarto”Artinya :
Semua bumi (tanah) yang tidak memiliki tanda bukti (hak milik) eigendom, maka menjadi hak milik keraton Jogjakarta.Pada akhirnya bergantilah kependudukan Belanda tergantikan oleh Jepang. Pada pendudukan Jepang yang singkat, hukum agrarian tak sempat terjamah untuk mengalami perubahan peratuaran oleh pemerintah jepang.

 C. Masa Sebelum UUPA (1945-1960)



Dalam penyusunan dasar-dasar Hukum Agraria dimulai sejak tahun 1948 untuk menggantikan ketentuan-ketentuan pertanahan warisan Hindia Belanda yaitu dengan pembentukan “Panitia Agraria” yang berkedudukan di Jogjakarta yaitu disebut “Panitia Jogja” yang dibentuk berdasarkan Penpres tanggal 21 Mei 1948 No. 16 yang diketuai oleh “Sarimin Reksodiharjo” yang menjabar pada saat itu sebagai Kepala bagian agraria Kementrian dalam negeri yang beranggotakan:
  1. Badan kementrian & Jawatan.
  2. Anggota-anggota Badan Pekerja KNIP yaitu yang mewakili organisasi tani.
  3. Mewakili organisasi tani dan buruh.
  4. Wakil-wakil dari serikat buruh pertanian.
Panitia Jogja bertugas untuk :
memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal Hukum pemerintahan.
merancangkan dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agraria.
Serta merancang perubahan, pergantian, pencatutan peraturan lama baik dari sudut legislatif baik dari sudut praktek yang menyelidiki soal-soal hukum tanah.
Pekerjaan panitia Jogja dilaporkan pada panitia pemangku kerja dengan No. 22/PA yaitu  mengenai asas-asas yang akan merupakan dasar hukum agraria yang baru dengan usulan sbb :

  1. Dilepaskannya azas-azas domein dan adanya pengakuan hak ulayat
  2. Diadakannya peraturan yang memungkinkan diperbolehkannya hak perseorangan yang kuat yaitu hak milik yang dapat dibebani dengan hak tanggungan, pemerintah hendaknya jangan memaksakan hak yang lemah kepada yang lebih kuat, perkembangan tersebut.
  3. Supaya diadakan penyelidikan dahulu dalam peraturan negara lain terutama negara-negara tetangga, supaya orang asing dapat/tidak memiliki hak milik atas tanah.
  4. Perlu diadakannya penetapan luas minimum tanah untuk menghindari perbedaan antara petani kecil dengan petani yang memiliki tanah yang lebihluas sehingga dapat memberikan tanah yang cukup bagi petani kecil sekalipun bisa hidup sederhana dari hasil pertanian ditentukanjumlahnya minimal 2 hektar.
  5. Perlu adanya penetapan luas maksimum seseorang yang memiliki tanah pertanian yaitu 10 hektar.
  6. Kemudian setelah negara RI sebagai negara Kesatuan Republik Indonesia maka berdasarkan Kepres tertanggal 19 Maret 1951 No. 36 tahun 1951 Panitia Yogya dibubarkan kemudian dibentuk “PANITIA JAKARTA” yang diketuai oleh “Sarimin Reksodiharjo” pada tahun 1953 yang pada saat itu berjabat sebagai pejabat politik. Panitia ini beranggotakan pejabat-pejabat dari berbagai kementrian, dan jawatan serta wakil-wakil dari organisasi tani. Pada tahun 1953 Sarimin Reksodiharjo digantikan oleh Singgih Praptodiharjo, karena Sarimin diangkat sebagai Gubernur di Nusa Tenggara.


Adapun usulan yang dapat diberikan dalam pembentukan agraria :
  1. Mengadakan batasan minimal luas tanah yaitu 2 hektar.
  2. Ditentukan luas batas adalah 25 hektar.
  3. Yang dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil adalah warga negara asli dan warga negara bukan asli.
  4. Badan hukum tidak diberikan kesempatan untuk mengerjakan tanah pertanian, untuk pertanian kecil diterima bangunan hak milik, hak pakai, hak usaha.
  5. Hak ulayat disetujui untuk diatur atas kuasa UUD Dasar Pokok Agraria.
Pada tanggal 29 Maret 1951 dikeluarkan Keppres No. 5/1955 yaitu dengan dibentuknya Kementrian agraria, dengan tugas : untuk mempersiapkan perundang-undangan agraria nasional dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Ketentuan UUD 1950. Dengan dibentuknya Kementrian agraria nasional yang diketuai oleh Goenawan.

Nampak hasil pemerintah yang sungguh-sungguh untuk membentuk pembaharuan hukum agraria. Namun susunan dan cara kerjanya panitia ini tidak dapat diharapkan sebagaimana mestinya. Maka Kementrian Nasional dibubarkan sesuai dengan Keppres No. 1 tahun 1956 pada tanggal 14 Januari 1956 dan dibentuk Panitia Urusan Negara Agraria yang berkedudukan di Jakarta yang diketuai oleh Soewatijo Soemodilogo yang menjabat pada saat itu sebagai Sekjend Kementrian Agraria.
Panitia ini beranggotakan :
  1. Pejabat-pejabat dari berbagai kementrian dan jawatan
  2. ahli-ahli hukum adat
  3. Wakil-wakil dari beberapa organisasi tani

Panitia ini bertugas : untuk mempersiapkan Rancangan Undang-undang Pokok Agraria dalam jangka waktu 1 tahun harus selesai pada tahun 1951. Ada beberapa hal pokok yang penting dalam RUUPA :

  1. Dihapusnya azas domein dan diakuinya hak ulayat yang harus tunduk kepada kepentingan umum atau negara.
  2. Asas domein diganti dengan hak kekuasaan Negara
  3. Dualisme hukum agraria dihapuskan
  4. Hak-hak atas tanah, hak milik sebagai hak yang terkuat mempunyai fungsi sosial, hak usaha, hak bangunan dan hak pakai.
  5. Hak milik hanya boleh dipunyai oleh orang-orang WNI tidak dibedakan warga negara asli atau warga negara tidak asli, serta badan hukum pada dasarnya tidak dibolehkan memiliki hak atas tanah.
  6. Perlu diadakan penetapan batas minimum dan maksimum tanah yang boleh dipakai oleh Badan Hukum.
  7. Tanah pertanian pada dasarnya harus dikerjakan dan diusakan sendirian dan diusahakan oleh pemiliknya.
  8. Perlu diadakan pendaftaran tanah dan rencana penggunaan tanah.
  9. Kemudian ada beberapa perubahan mengenai sistematika rumusan serta beberapa pasal dari panitia Soedarwo oleh “Panitia Agraria Soenaryo” diajukanlah pada Dewan Mentri dalam sidangnya tanggal 1 April 1958.


Rancangan tersebut diajukan pada DPR sesuai dengan “Amanat Presiden tanggal 24 April 1958 No. 1307/Hk/1958. Rancangan UU ini kemudian dibicarakan dalam sidang Pleno DPR. Selanjutnya oleh DPR dibahas dan oleh pihak DPR masih memandang perlu untuk mengumpulkan bahan yang diperlukan oleh “Panitia Musyawarah DPR” dibentuklah suatu “Panitia Adhoc” yang diketuai oleh “Mr. AM. Tambunan” dan oleh Prof. Notonegoro dan Prof. Wirjono Projodikoro memberikan masukkan kepada panitia adhoc, namun konsep yang diajukan tersebut ditarik kembali karena rancangan tersebut memakai dasar dari UUDS 1950.

Setelah negara RI kembali ke UUD 1945 dibentuklah RUUPA yang lebih dasar dan sempurna yang disesuaikan dengan UUD 1945. Oleh karena itu Rancangan Mentri Agraria Soejarwo disetujui oleh Kabinet Inti dalam sidangnya tertanggal 22 Juli 1960. Dalam Kabinet pleno yang sidangnya tanggal 1 Agustus 1960 di dalam pengantar acting, Ketua DPR yang diketuai oleh H. Zainul Arifin yang sidang plenonya tanggal 9 September 1960 diketuai jalannya Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria (RUUPA) sesuai dengan ketentuan tata tertib DPR maka titik berat pembicaraan diletakkan pada pembahasan sidang-sidang komisi yang sifatnya tertutup. Oleh karena itu apa yang dibicarakan dalam sidang pleno tersebut pada hakekatnya merupakan hasil kesepakatan antara DPR dan pemerintah dengan tercapainya kesepakatan antara DPR dan Pemerintah mengenai RUUPA tidaklah semudah sebagaimana yang dipesankan oleh pembahasnya pada siding pleno tetapi bisa disimpulkan dari kata-kata “Soedjarwo” tertanggal 12 September 1960 yaitu :

Dua minggu persis Undang-undang ini telah melewati jalan prosedur baru dari DPR yang penuh rintangan dan kesukaran yang kadangkadang sampai klimaks tetapi selalu dijiwai oleh sikap gotong royong dan toleransi yang sebesar-besarnya yang menumbuhkan kebaikan jiwa-jiwa orang yang terhormat yang mewakili :
  • Golongan Islam, Kristen, Katolik
  • Golongan Komunis
  • Golongan Karya

Berkat semua itu pemeriksaan pendahuluan telah selesai dengan selamat. Setelah selesai pemeriksaan pendahuluan tanggal 14 September 1960 dengan secara bulat DPR menerima baik RUUPA ini. Berarti semua golongan dari DPR menyetujuinya maka dengan demikian dapat dikatakan apa yang telah disetujui itu dianggap sesuatu yang hidup dalam masyarakat termasuk sarjana, tokoh-tokoh agraria, agama, ahli-ahli adat. Setelah RUUPA disetujui DPR tanggal 12 September 1960 disahkan oleh Presiden RI menjadi UU yaitu tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan selanjutnya ditulis dalam Lembaran Negara (LN No.104/1960) dan penjelasan dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara No. 2043.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar